Rabu, 25 Januari 2012

Epigram (4)

Jika kau ingin memperbaiki suatu bangsa, pimpinlah mereka.

Jika belum bisa, persiapkan itu.

Jika tidak bisa, wariskan yang ada padamu kepada generasi setelahmu.


Berikan yang terbaik yang kau punya hari ini untuk hari esok..

Berikan emas kepada anak-anakmu,

Sanggupilah dirimu sampai engkau benar-benar tidak sanggup.

Hanya sampai kau benar-benar tidak sanggup.

Kemudian biar sekelilingmu dan orang-orang setelahmu yang melanjutkan

dengan bekal cukup yang kau berikan.


-Gibran Sesunan-

Epigram (3)

Hati-hati dengan pikiranmu, karena ia akan jadi perkataanmu.

Hati-hati dengan perkataanmu, karena ia akan jadi perbuatanmu.

Hati-hati dengan perbuatanmu, karena ia akan jadi kebiasaanmu.

Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena ia akan jadi karaktermu.

Hati-hati dengan karaktermu, karena ia akan menentukan nasibmu.




-Inspirasi dari film 'Iron Lady' yang penuh inspirasi-

Selasa, 24 Januari 2012

Epigram (2)

Jangan kau tuduh orang lain melangit

siapa tahu engkau yang tak membumi.


-Gibran Sesunan-

Senin, 23 Januari 2012

Epigram (1)


Jangan kau harap perubahan akan tuntas, sementara kau belum sekalipun memulainya dan dengan gigih berkali-kali melanjutkan nafasnya !

-Gibran Sesunan-

Kawan, Berjuanglah !

Perubahan selalu harus dimulai, karena ia tak mampu memulai dirinya sendiri..

Walau perubahan belum tentu mampu menghadirkan sebuah pembaruan

tetapi usaha-usaha perubahanlah yang menjadi cikal lahirnya suatu hal yang baru, yang lebih baik...

Karena tak pernah ada pembaruan tanpa perubahan.


Berproseslah dalam usaha itu, dan berhasillah..

Karena proses yang baik adalah hasil itu sendiri..

Dan manis getir adalah catatan pelajaran..


Perjuangan memang kadang -bahkan selalu- pahit, kawan..

Maka nikmatilah perjuangan, karena kelak ia akan kita rindukan..

Tak perlu menunggu pembaruan

Karena pembaruan adalah karya terbaik antarperadaban

Ia bukan proyek satu dua orang, melainkan hasil perjuangan segenap anak zaman.


Lakukan perubahan dan tuntaskan.

Bergeraklah dan menggerakkan.

Kuatlah engkau wahai anak zaman

dan saling menguatkan

Jangan sampai lelah jiwa membuatmu surut mengarung.


Bersungguh-sungguhlah dan berhati-hatilah, Kawan.

Semoga Tuhan membersamaimu, meridhoimu.

Untuk bangsamu, untuk semua.



-Yogyakarta siang, 23 Januari 2012-

Jumat, 20 Januari 2012

Antara Mencuri Sandal dan Korupsi


Hanya ada satu macam dosa. Hanya satu, yaitu mencuri. Dosa-dosa lain adalah variasi dari dosa itu… Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri. Demikianlah penggalan percakapan antara Baba dengan Amir dalam novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini (2003). Prinsipnya, mencuri adalah sumber dari segala keburukan.

Kondisi bangsa hari ini menjadi bukti sahih betapa dahsyatnya dampak mencuri. Mudah saja menafsirkan “mencuri” dalam bahasa Indonesia yang paling umum: mengambil yang bukan haknya. Meski pada akhirnya bahasa hukum memetakan tindakan “mencuri” ke dalam beberapa rumusan pasal. Mencuri sandal, kakao, dan semangka masuk dalam delik pencurian yang diatur dalam pasal 362-367 KUHP, sementara mencuri uang negara distempel dengan tindak pidana korupsi dan diancam sesuai dengan ketentuan UU 31/1999 jo UU 20/2001. Kita semua tahu perbedaan mendasar keduanya sehingga “mencuri” perlu diatur dengan cara yang berbeda.

Berbagai kegaduhan penegakan hukum ternyata “hanya” mampu menempatkan Indonesia pada urutan 100 negara terbersih dari korupsi menurut survei Transparency International dengan indeks persepsi 3.00 dari indeksi tertinggi 10. Meski terdapat kenaikan dan patut diapresiasi, tentunya hasil tersebut tidak cukup sebanding dengan hiruk-pikuk negara yang segenap pemimpin, birokrat, dan aparat hukumnya menyatakan diri sebagai garda depan pemberantasan korupsi.

Celakanya, penegak hukum seperti tidak bisa membedakan makna “mencuri” yang telah disepakati tak sama. Kegagalan menempatkan prioritas adalah gambaran bobroknya daya serap dan daya tangkap aparat dalam memaknai suatu tindak pidana. Rekening gendut jenderal polisi dan pemukulan aktivis antikorupsi tak pernah selesai kasusnya sampai hari ini, serta berbagai vonis bebas bagi terdakwa korupsi bak jamur di musim hujan, sementara AAL si bocah pencuri sandal dinyatakan bersalah meski banyak keganjilan dalam perkaranya. Hal tersebut melengkapi kasus-kasus serupa yang menjustifikasi bahwa hukum bukan untuk mereka yang lemah.

Atau jangan-jangan pemaknaan korupsi hari ini diartikan tidak lebih buruk daripada tindakan AAL si pencuri sandal, sehingga tidak perlu dilakukan penanganan yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya? Atau bahasa hukum memang terlalu rumit menafsirkan korupsi yang “hanya mencuri” itu? Atau memang materi telah membungkus keadilan dengan  sesuatu yang lain? Jika hukum memang tak mampu memberikan jawaban, lantas tinggallah bangsa ini menunggu hadiah dari Tuhan, meski hadiah itu tak akan pernah hadir jika tak diperjuangkan. Dicarilah mereka, atau kita: pejuang itu.


M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Belenggu Century


Kasus Century ibarat badai yang tak kunjung berlalu. Setelah menyita perhatian publik begitu besar dalam pengambilan keputusan politik di DPR yang akhirnya memutuskan bahwa kebijakan pemberian dana talangan adalah kebijakan yang salah dan terindikasi melanggar hukum, kini kasus Century kembali memanas seiring dengan pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang berjanji menuntaskan kasus Century dalam waktu satu tahun.

Blunder Ketua KPK

Pernyataan Ketua KPK menjadi blunder karena disampaikan dalam forum politik di DPR yang memberi kesan seolah KPK memang sejak awal menjadikan Century sebagai sasaran tembak. Sebagaimana diketahui bahwa Century kerap dijadikan bahan tawar-menawar politik Partai Golkar dalam menyikapi kebijakan strategis Pemerintah. Padahal, ada banyak kasus besar yang telah menunggu KPK seperti kasus Gayus dan suap dalam pemilihan DGS BI.

Celakanya, pernyataan Abraham Samad ini dikeluarkan untuk kasus yang sangat kental nuansa politiknya. Seharusnya KPK fokus saja menangani dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus tersebut, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan peluru untuk membombardir KPK di kemudian hari. Jika dalam setahun KPK tak mampu membongkar kasus Century, KPK akan kembali menjadi sasaran tembak politisi Senayan.

Permasalahan menjadi semakin runyam ketika masa kerja tim pengawas kasus Century diperpanjang. Timwas tentu akan semakin mendorong KPK setelah pimpinannya mengeluarkan janji tersebut, dan bisa jadi, dorongan tersebut adalah upaya mendikte dan membelenggu KPK.

Politik Pencitraan

Tak hanya itu, kentalnya nuansa politik dalam kasus Century juga akan dijadikan sarana bagi parpol untuk kembali rajin menyambangi media massa dan berusaha mencuri perhatian publik untuk kepentingan Pemilu 2014. Kita ingat betul betapa seringnya para inisiator hak angket Century dahulu begitu fenomenal karena selalu muncul di televisi. Bayangkan, terus bergulirnya kasus Century dapat dijadikan alat kampanye gratis bagi politisi yang akan bertarung di pemilu.

Perlu dipahami bahwa kasus Century berdiri di dua ranah yang akan berbeda muara penyelesaiannya, yakni politik dan hukum. Politik hanya akan menghasilkan transaksi-transaksi, sementara hukum membuktikan benar atau tidaknya upaya penyelamatan Bank Century dan siapa yang mengambil keuntungan di balik penyelamatan itu.

Untuk itu, biarkan KPK menyelesaikan dimensi hukum kasus Century dan kita mendorong penyelesaian kasus sesegera mungkin. Jika memang tidak ditemukan indikasi korupsi berdasarkan fakta dan bukti, tentu KPK harus tegas melaporkannya kepada publik, dan masyarakat harus mengawalnya dari tekanan politik manapun. Dan bagi DPR, alangkah baiknya jika proses politik hak angket dilanjutkan dengan menempuh hak menyatakan pendapat yang memang dijamin oleh undang-undang. Dengan begitu, pendapat DPR jika memang menyatakan adanya dugaan tindak pidana oleh wakil presiden maka dapat segera ditindaklanjuti dengan mekanisme forum previlegiatum oleh Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan di parlemen.

Dengan begitu, hukum akan tetap menjadi panglima tanpa harus mengerdilkan proses politik. Mengenai tak sehatnya dinamika politik, biarlah rakyat yang menilai.

M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Kamis, 12 Januari 2012

Menolak Dermawan pada Koruptor

Transparency International (TI) kembali merilis hasil riset terbaru indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia. Dengan indeks tertinggi 10, Indonesia secara kuantitas mengalami kenaikan indeks dari 2.8 pada tahun lalu menjadi 3.0 saat ini. Indeks persepsi korupsi versi TI lazim digunakan untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara dan keberhasilan pemberantasannya.

Sekilas menurut data, prestasi Indonesia meningkat 0.2. Namun jika ditelisik lebih jauh, tentu kenaikan 0.2 tidak sebanding dengan kegaduhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlebih lagi, kenaikan indeks korupsi cenderung lambat, terhitung hanya naik 1.0 selama delapan tahun terhitung sejak 2004-2011, bahkan sempat regresif di tahun 2007.

Bagaimanapun, kita harus tetap mengapresiasi hasil ini. Namun kita tetap harus berkaca, indeks prestasi Indonesia hari ini masih jauh dari harapan. Dibanding negara Asia Tenggara lain, Indonesia jauh tertinggal. Singapura meraih indeks 9.2 dan menjadi salah satu negara terbersih dari korupsi, disusul Brunei (5.2), Malaysia (4.3), dan Thailand (3.4). Bahkan hasil tersebut “hanya” menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara miskin Afrika seperti Gabon, Burkinafaso, dan Malawi dengan indeks prestasi yang sama.

Klise

Segala cara telah dilakukan, mulai dari agenda reformasi birokrasi di berbagai institusi hingga pembentukan lembaga-lembaga baru yang diharap mampu menjadi trigger pemberantasan korupsi seperti KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Namun ternyata itu belum cukup mampu melepaskan Indonesia dari belenggu korupsi.

Indeks korupsi hanya menjadi data klise yang secara kasat mata tentu dapat kita tahu kondisi realitanya: negara ini tidak lebih baik dan rakyat belum sejahtera. Kasus-kasus besar bergerak dalam proses sangat lambat. Aparat mudah disuap. Berbagai sektor masih menjadi ladang korupsi. Yang pada rezim Orde Baru terpusat kini ikut terdesentralisasi ke daerah bersama otonomi daerah.

Indeks persepsi tersebut harus menjadi otokritik bagi strategi pemberantasan korupsi yang kita lakukan. Jika diperhitungkan secara pragmatis-linear, dengan kenaikan 1.0 selama delapan tahun, maka dibutuhkan waktu sekitar lima puluh tahun untuk menyejajarkan diri dengan negara-negara terbersih seperti Singapura dan Jepang.

Lembaga yang paling mungkin diharapkan untuk menjadi garda depan memberantas korupsi adalah KPK, meski dilemahkan dengan berbagai cara oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan gebrakannya. DPR berusaha mengebiri lewat fungsi legislasi. Koruptor men-judicial review kewenangan KPK. Dan yang bisa menyelamatkan KPK adalah gerakan rakyat. Berharap pada mekanisme formal yang menganggap korupsi bukan kejahatan luar biasa sehingga ditindak sebagaimana menindak seorang pencuri tiga ekor ayam tentu bukan hal yang bijak.

Atau pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK adalah kesia-siaan karena korupsi tetap tumbuh subur. Zainal Arifin Mochtar (2009) berkata bahwa bangsa ini tengah dilanda efek treadmill: seolah-olah berlari kencang padahal kenyataannya tak beranjak. Ketiadaan efek jera menjadi penyebabnya sehingga harus ada upaya penanggulangan yang mampu menunjukkan bahwa korupsi bukan budaya. Tujuan pemidanaan menurut Modern Criminal Law yakni pembalasan (restribution), pemberi efek jera (deterrence), dan perbaikan bagi pelaku (reformation) agar perbuatan tidak terulang, tereduksi dengan berbagai “kedermawanan” aparat.

Saatnya Tidak Dermawan

Perlu gerakan bersama untuk berjuang bersama KPK. Selain itu, cara-cara usang dalam pemberantasan korupsi juga perlu dikaji karena efektivitasnya rendah. Sudah saatnya mencoba gebrakan baru. Pidana mati untuk koruptor seperti yang Cina terapkan. Jika bicara hak asasi, sudah berapa juta rakyat Indonesia yang menjadi korban ulah koruptor dan hak asasinya terlanggar. Untuk efektivitasnya, kita tidak akan pernah tahu hingga kita mencoba. Bukankah kita telah sepakat bahwa korupsi adalah the real terrorism?

Penjatuhan pidana penjara oleh hakim juga harus diberi rentang waktu yang tegas dan tinggi dengan asas minimum dan maksimum khusus sekaligus agar penjara mampu membuat efek jera dan mencegah disparitas putusan hakim. Perampasan aset harus mulai diterapkan. Bowles dan Garoupa (2005) telah meneliti bahwa hukuman perampasan aset akan lebih efektif untuk menanggulangi korupsi karena orientasi korutor adalah uang sehingga uang hasil korupsi dan yang terkait dengannya harus disita negara agar orientasi koruptor gagal tercapai. Saatnya kita marah. Bisa jadi kemarahan kita akan sedikit terhapus jika melihat koruptor ditempatkan di kebun koruptor layaknya binatang di kebun binatang seperti ide Mahfud MD.

Teori Profit Maximizer yaitu doktrin hukum ditinjau dari segi biaya, keuntungan, dan konsep efisiensi ekonomi telah menegaskan bahwa seseorang cenderung melakukan suatu tindak pidana jika hasil yang didapat lebih besar dari risiko yang mungkin diterima. Jelas bahwa koruptor selalu diuntungkan dalam penegakan hukum di negeri ini. Hukum hanya diletakkan di etalase berkedok supremasi, padahal diinjak seenak hati. Keadilan hanya milik koruptor, bukan rakyat yang uangnya dikorupsi.

Namun semua usulan untuk tidak dermawan pada koruptor berpangkal pada Undang-undang, sehingga semua sangat tergantung pada DPR. Untuk itu, beranikah DPR berkoalisi bersama rakyat dan gerakan antikorupsi untuk segera membuat gebrakan regulasi, ataukah justru rela melihat Indonesia dalam status quo dan mempertahankan kejayaan koruptor?  Sampai detik ini, kita sudah tahu jawabannya.

M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Rabu, 11 Januari 2012

Kasus Sandal Cermin Menjauhnya Keadilan

Kasus pencurian sandal jepit yang akhirnya menyatakan AAL seorang anak di bawah umur bersalah meski barang bukti tak sesuai dengan yang didakwakan kembali menunjukkan arogansi hukum terhadap keadilan. Hukum dan keadilan di negeri ini seolah tak lagi berjalan beriringan, bahkan keadilan cenderung ditiadakan dalam penegakan hukum.

Gambaran kasus sandal semakin menjustifikasi bahwa hukum kini tak lagi dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah, namun justru merupakan masalah itu sendiri. Kasus sandal ini kian melengkapi kasus-kasus sebelumnya yang melukai rasa keadilan masyarakat seperti kasus Nenek Minah dengan tiga buah kakaonya. Semuanya menunjukkan betapa tajam hukum jika menyangkut rakyat kecil.

Tiga Kesalahan

Penegak hukum dalam kasus AAL setidaknya melakukan tiga kesalahan fundamental. Pertama, AAL masihlah seorang anak. Kedua, jelas bahwa dakwaan kabur karena terdapat ketidaksesuaian barang bukti sandal yang didakwakan dengan yang ditunjukkan di pengadilan. Ketiga, bahwa hukum seharusnya mampu mengembalikan keadaan seperti sediakala (restitution in integrum), bukan justru memberi perasaan takut kepada masyarakat.

Negeri ini selalu disibukkan hal-hal yang prosedural dalam menegakkan hukum. Hukum pidana yang seharusnya menjadi sarana terakhir (ultimum remidium) karena sifatnya yang ibarat pedang bermata dua: menegakkan hak asasi seseorang dengan melukai hak asasi orang lain; acapkali digunakan tidak pada tempatnya.

Common Sense

Hukum acara pidana Indonesia menggunakan asas oportunitas, bahwa tak semua tindak pidana wajib diteruskan untuk dituntut di pengadilan. Inilah yang membedakan sistem di Indonesia dengan sistem di negara-negara yang menganut asas legalitas dalam hukum acara pidana seperti halnya Jerman. Perlu diperhatikan  juga bahwa pengertian asas legalitas dalam hukum acara pidana adalah berbeda dengan pengertian dalam hukum pidana materiil.

Asas oportunitas membuka ruang bagi penegak hukum untuk menggunakan kebijaksanaannya dalam menangani suatu kasus agar tak semua perkara harus masuk ke pengadilan. Apalagi dalam kasus AAL, dengan mempertimbangkan tiga kesalahan fundamental  yang dilakukan aparat sebagaimana termaktub di atas, seharusnya hal-hal prosedural dalam rule of law dikesampingkan guna memenuhi rule of common sense. Bukan berarti melegalkan tindak pencurian, melainkan untuk lebih jernih dalam menghadapi persoalan.


Kalaupun ternyata perlu dituntut di pengadilan, Putusan MK dalam perkara No. 013/PUU-I/2003 tertanggal 22 Juli 2004 menyatakan bahwa nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian hukum, melainkan dari keseimbangan perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan. Jelas bahwa keadilan dan kemanfaatan harus sangat diperhatikan karena hakim adalah corong keadilan.

Restorasi Keadaan

Dan hal yang paling dilupakan oleh punggawa hukum negeri ini adalah bahwa hukum harus mampu merestorasi keadaan (restorative justice).  Aparat cenderung menjadikan hukum sebagai ajanag pembalasan tanpa memperhatikan keadan-keadaan yang menunjang terjadinya tindak pidana. Kasus AAL sebenarnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan memperhatikan kondisi Aal yang masih di bawah umur dan terbelakang mentalnya.

Solusinya, restorative justice harus dibuatkan dasar hukum yang kuat sehingga menjadi alternatif penyelesaian kasus seperti kasus AAL. Pun jikalau tak ada political will dari pembentuk undang-undang untuk segera memasukkan mekanisme restorative justice dalam undang-undang, maka penegak hukum dapat melakukan terobosan hukum. Mau dibawa kemana keadilan di negeri ini?

M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM

Dimuat di Harian Lampung Post, Senin, 9 Januari 2012

Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM


Dewan Mahasiswa Justicia
Fakultas Hukum UGM



untuk bangsa, untuk semua



COMING SOON..


Senin, 09 Januari 2012

JENESYS (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youts) Programme - East Asia Future Leaders 2009

Delegasi Indonesia Angkatan 2009 Batch 2 Grup Yamagata Prefecture 

National Kit 


Pembagian Grup Berdasarkan Prefektur 

Kanagawa naik bus, Hokkaido dan Kagawa naik pesawat, Yamagata naik Shinkansen, alhamdulillah :)

Sungai di kaki Gunung Zao yang membeku, di musim panas (nah lo....) 

Ini sungai bro... 

Host Family, Keluarga Kawagoe 


Kuil Buddha di kaki Gunung Zao 

Upacara Minum Teh 

3 cowok foreigners (Indonesia, Peru, and Brazil) 






 Bunga Sakura yang tidak sedang mekar

Prosesi buang sial 

Do you know Kokeshi? I made it by myself 


 Shinkansen yang saya naiki, Tokyo-Yamagata: 2,5hours

Cooking Class at Yamagata Gakuin 



Delegasi Vietnam

Pembawa baki Paskibraka Nasional lho ini 

Ibu Ahyani (pendamping) sama Tya 


Caving Goa Cerme #1

Goa Cerme, terletak di perbatasan Bantul-Gunungkidul. 1 jam perjalanan dari Kota Yogyakarta. Wisata alam murah, meriah, dan menyenangkan !

1,5 jam menyusuri goa bawah tanah yang berair. Sama Punta, Herman, dan Fahmi.













Perjalanan Satu Hari: Pantai Klayar - Pacitan - Ponorogo - Solo

Awalnya sih cuma saya dan Toni yang berencana ke sini. Kebetulan Damar abis liat foto-fotonya di sebuah majalah, dan nge-twit "siapapun yang mau ke Pantai Klayar, ajak saya". Ikutlah dia. Terus, saya rayu si Mahisa dan Galih untuk ikut meski mendadak dan kita semua lagi sibuk persiapan PPSMB Demokrasi FH UGM 2011.

Berangkat pukul 21.00 melalui jalan yang sangat asing, sepi, dan jelek. Alhamdulillah sampai dengan selamat persis tengah malam.

Salah satu pantai terbaik di selatan Jawa. Namanya Pantai Klayar, masuk wilayah administratif Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. 3,5 jam perjalanan dari Jogja, 1 jam dari Kota Pacitan. Indahnya? Luaaaaaar biasa !!! Lelah di perjalanan lunas terbayar !













Tidurnya? Di tenda dong..





Dari Klayar, ke Goa Gong, denger-denger sih salah satu goa terindah di Asia, 20 menit perjalanan.





Terus ke Kota Pacitan

Eh, lanjut lagi ke Ponorogo. 1 jam perjalanan. Kebetulan ada festival Reog




Pulangnya via Solo, numpang makan nasi liwet sekaligus memenuhi hasrat Toni yang belum pernah ke Solo..

Dan sampailah di Jogja, persis pukul 21.00. Tepat sehari penuh perjalanan ke kota-kota perbatasan.

Dan bintang perjalanan kali ini adalah motor Supra Fit asli Lampung