Senin, 23 Juli 2012

Epigram (9)

Malam itu baik. Maka bersyukurlah pada penciptanya. Ia Maha Baik.

-GS-

Epigram (8)

Selamat meraih malam. Ia beri kita pilihan soal apa dan bagaimana.

-GS-

Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM Raih Juara 2 Nasional


Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) meraih prestasi dalam kancah keilmuan di bidang Hukum Tata Negara dengan menjadi Runner-up dalam Lomba Peradilan Semu Pengujian Undang-Undang Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 11-13 November 2011. Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM yang dibidani oleh Komunitas Hukum Tata Negara (Komunitas HTN) FH UGM terdiri dari 17 mahasiswa, yaitu 9 orang Hakim Konstitusi (Mas Muhammad Gibran Sesunan, Syarif Fatahillah Harahap, Daitsya Megasari, Ghina Rahmatika, M. Aprian Wibowo, Ametta Diksa Wiraputra, Mohd. Sulthoni, Cipuk Wulan Adhasari, dan Maratus Muslimah), 1 orang Pemohon Prinsipal (Wahyudi), 1 orang Kuasa Pemohon (Wahyu Pamungkas), 1 orang Wakil Pemerintah (Aji Bagus Pramukti), 1 orang Wakil DPR (Eva Pratama Nur Fitrianto), 1 orang Ahli Pemohon (Moch. Adib Zain),  1 orang Ahli Pemerintah (Akhyaroni Fuadah), 1 orang Panitera Pengganti (Bintang Wicaksono Aji), dan 1 orang Petugas Persidangan/Padel (Ika Nurhidayati). Tim dilatih oleh 4 orang Pelatih dari Komunitas HTN FH UGM, yaitu Dian Agung Wicaksono, S.H., M. Fatahillah Akbar, S.H., Windi Afdal, dan Laras Susanti.

Dalam lomba peradilan semu tersebut, Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM mengangkat pengujian Ketetapan MPRS Nomor 25/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menjadi menarik karena lazimnya Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Disinilah titik sentral yang menjadikan Lomba Peradilan Semu Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi syarat dengan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum tata negara, karena Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM harus mengemukakan dalil untuk membenarkan argumentasi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian Tap MPR/MPRS terhadap UUD.

Pada babak final yang diselenggarakan di Ruang Sidang Panel Lantai 4 Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM berhadapan dengan sembilan delegasi lainnya dari berbagai universitas di Indonesia yang telah lolos dari masing-masing regional dengan total peserta 35 universitas. Hadir kesepuluh finalis yang telah lolos berkas persidangan pengujian undang-undang, yaitu 10 Fakultas Hukum dari Universitas Andalas (Padang), Universitas Sumatera Utara (Medan),  Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Parahyangan (Bandung), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Jember (Jember), Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Universitas Muslim Indonesia (Makassar). Di dalam penutupan perlombaan, sebagaimana diumumkan oleh Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. selaku Ketua Dewan Juri disebutkan yang menjadi Universitas Andalan sebagai Juara 1, Universitas Gadjah Mada sebagai Juara 2, dan Universitas Parahyangan menjadi Juara 3.

Semua delegasi tersebut menampilkan berkas persidangan di hadapan dewan juri yang terdiri dari Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Dr. M. Ali Syafa’at, S.H., M.H., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., D.F.M., Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Winarno Yudho, S.H., M.A., Dr. Zen Zanibar, S.H., M.H., Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum., Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Dr. Widodo Ekatjahyana, S.H., M.H., Siti Marwiyah, S.H., M.H., Dr. Marwan Mas, S.H., M.H., Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., dan Hasrul Halili, S.H., M.A. Dalam setiap penampilan tim dinilai dengan 9 juri dengan ketentuan juri yang memiliki keterkaitan tempat mengajar, almamater, dan daerah asal dilarang untuk melakukan penjurian, sehingga independensi juri terjamin. Sebelum memasuki babak final di Jakarta, semua tim sudah melalui seleksi berkas dan lolos dengan predikat 2 nilai tertinggi dari masing-masing regional. Nilai seleksi berkas memiliki andil sebanyak 20% dari keseluruhan jumlah poin penilaian, sedangkan sisa 80% poin penilaian diambil dari performa delegasi saat menampilkan persidangan.

Walaupun pada akhirnya harus merelakan peringkat pertama pada Universitas Andalas, tetapi prestasi Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM harus tetap diapresiasi. Setidaknya walaupun hanya mendapat peringkat kedua, Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM telah berikhtiar maksimal. Karena sejatinya perlombaan bukan sekedar untuk mencari predikat kemenangan, namun lebih jauh adalah sarana untuk belajar. Bagaimanapun, tujuan utama berkompetisi bukanlah sekedar mendapatkan piala, melainkan yang lebih penting adalah mendapatkan ilmu dan mengamalkan ilmu, serta upaya menjaga tradisi keilmuan tetap hidup di kalangan mahasiswa hukum UGM.

Sumber:

Tim FH UGM Raih Juara II Lomba Peradilan Semu Konstitusi Nasional


Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) berhasil meraih juara 2 dalam Lomba Peradilan Semu Pengujian Undang-Undang Tingkat Nasional, 11-13 November 2011. Posisi pertama diduduki oleh tim Universitas Andalas dan tempat ketiga ditempati oleh Universitas Parahyangan.

Dalam final lomba peradilan semu yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ini, tim FH UGM berhadapan dengan sembilan delegasi lain dari berbagai universitas di Indonesia. Sepuluh tim yang lolos pada lomba ini merupakan perwakilan delegasi yang dinyatakan lolos pada regionalnya masing-masing dari 35 universitas se-Indonesia. Selain UGM, tim lainnya ialah Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Parahyangan, Universitas Diponegoro, Universitas Jember, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Muslim Indonesia.

Dian Agung Wicaksono, S.H., pelatih Tim Peradilan Semu FH UGM, menyebutkan saat itu tim UGM mengangkat pengujian Ketetapan MPRS Nomor 25/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Menjadi menarik karena lazimnya Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Di sinilah titik sentral yang menjadikan Lomba Peradilan Semu Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi syarat dengan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum tata negara, karena Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM harus mengemukakan dalil untuk membenarkan argumentasi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian Tap MPR/MPRS terhadap UUD,” terang Dian.

Tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi FH UGM yang lahir dari komunitas Hukum Tata Negara (HTN) terdiri atas 17 mahasiswa. Sembilan di antaranya berlaku sebagai hakim konstitusi, yakni Mas Muhammad Gibran Sesunan, Syarif Fatahillah Harahap, Daitsya Megasari, Ghina Rahmatika, M. Aprian Wibowo, Ametta Diksa Wiraputra, Mohd. Sulthoni, Cipuk Wulan Adhasari, dan Maratus Muslimah. Selanjutnya, Wahyudi sebagai pemohon prinsipal, Wahyu Pamungkas sebagai kuasa pemohon, Aji Bagus Pramukti sebagai wakil pemerintah dan Eva Pratama Nur Fitrianto sebagai wakil DPR.

Berikutnya, Moch. Adib Zain sebagai ahli pemohon, Akhyaroni Fuadah sebagai ahli pemerintah, Bintang Wicaksono Aji sebagai panitera pengganti, dan Ika Nurhidayati sebagai petugas persidangan. Tim ini juga didampingi oleh 4 dari komunitas HTN FH UGM, yaitu Dian Agung Wicaksono, S.H., M. Fatahillah Akbar, S.H., Windi Afdal, dan Laras Susanti. (humas UGM/Ika)


Sumber:
http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4234

Tentang DEMA Justicia (6): Pelatihan bagi Pejuang Rakyat


21 Maret 2011

Berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang masih muda (secara akademik) memang selalu menyenangkan. Ada semangat yang masih menyala-nyala, ada emosi yang membuncah ketika menyampaikan argumentasi. Diskusi dengan mereka kadang juga menuntaskan rasa rindu mendiskusikan kondisi bangsa yang karut-marut seperti saat ini. Harus diakui, diskusi ini susah ditemui dengan kawan satu angkatan yang sudah memiliki orientasi berbeda, lulus, lanjut kuliah S2, maupun langsung cari kerja. Karena itulah saya selalu antusias ketika ada kawan-kawan yang mau mengajak mendiskusikan arah bangsa ini ke depan. Tak terkecuali ketika hari Minggu (20/3) kemarin, Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum mengundang saya untuk menjadi pemantik diskusi dengan anggota Dema yang baru.

Dema menamai kegiatan ini dengan nama yang bagi saya cukup gagah dan menggelegar, Latihan Dasar Pejuang Rakyat (LDPR). Membaca dari namanya saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Pejuang rakyat. Ada beban sejarah yang tidak main-main dalam kata rakyat ini. Dan ketika mahasiswa sudah berani mendeklarasikan dirinya sebagai pejuang rakyat, itu artinya dia siap menanggung beban maha berat yang menuntut keberanian berpihak dan konsistensi sikap. Setidaknya, apa yang dilakukan oleh Dema ini menjadi semacam harapan di tengah gempuran zaman yang menumpulkan nalar berpikir kritis mahasiswa. Kondisi yang selanjutnya memisahkan mahasiswa dari masyarakatnya. Setidaknya, membuat mahasiswa melupakan tanggung jawab sosialnya.

Menjadi sebuah kewajaran ketika kemudian organisasi internal baik tingkat universitas maupun fakultas yang lain lebih sibuk dalam isu-isu elitis. Jika kita lihat, organisasi internal di tingkat universitas seperti BEM KM, jauh lebih disibukkan dengan isu-isu nasional. Mereka bahkan lebih tertarik untuk go international alih-alih memperjuangkan masyarakat di akar rumput. Jangan heran jika agenda mereka tahun ini juga akan ke luar negeri lagi seperti tahun lalu.

Berbeda dengan mainstrem di atas, Dema Justicia, bagi saya, menjadi salah satu organisasi internal mahasiswa di UGM yang masih konsisten bergerak bersama rakyat.Mereka sampai saat ini masih setia mendampingi Pedagang Kaki Lima (PKL) di daerah Lembah UGM yang akan digusur oleh pihak kampus. Tidak hanya itu, Dema juga menjadi salah satu garda depan penolakan terhadap proses komersialisasi kampus di UGM yang salah satunya mewujud dalam kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK).

Kegiatan seperti LDPR, menjadi upaya untuk menyemai bibit-bibit muda yang akan terus berada di garda depan perjuangan mahasiswa UGM, dan tentu saja mahasiswa Indonesia. Dan jujur saja saya cukup kaget dengan respon anggota baru Dema yang aktif dan “keras” dalam diskusi, bahkan terkadang sambil menunjuk-nunjuk saya, hehe. Terima kasih Kaka, Bebe, Rahmat, Fandi, Soni, Sasa, Bintang, Dira, Ester, Gultom, Dani untuk diskusinya yang “hangat”. Semoga Dema tetap bisa konsisten di jalan perjuangan.


Sumber:
http://wisnuprasetya.wordpress.com/2012/04/06/pelatihan-bagi-pejuang-rakyat/

Tentang DEMA Justicia (5): Mahasiswa Ikut Peduli akan Nasib Buruh


Hidup Buruh!

Hidup Mahasiswa!

Hidup rakyat Indonesia!

Satu hari yang selalu bergejolak, itulah hari buruh internasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Aksi di kota-kota besar sudah menjadi hal yang lazim ketika hari buruh diperingati oleh para buruh dan orang-orang yang peduli dengan nasib mereka. Beginilah kenyataannya, hingga saat ini nasib para buruh masih sangat tertindas. Lantas aksi atau demonstrasi merupakan jalan yang pantas agar suara mereka didengar oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Besar harapan mereka agar orang-orang itu tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Di mana kekuasaan itu justru digunakan untuk menyengsarakan rakyat, terutama kaum buruh.

Sebagai kaum yang memiliki tanggung jawab sebagai orang terdidik, sudah sewajarnya mahasiswa untuk ikut merasakan keprihatinan atas penindasan yang dialami oleh para buruh. Selaras dengan adanya gagasan #IndonesiaBerdaulat yang ditelurkan oleh Forum Kajian Strategis UGM, telah menjadi alasan yang cukup untuk mendorong keterlibatan mahasiswa dalam aksi “Solidaritas Mahasiswa UGM untuk Buruh dan Kedaulatan Rakyat”. Aksi ini dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2012 dan diikuti puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas yang dikoordinasikan oleh DEMA Justicia (Fakultas Hukum) serta BEM KM UGM. Dalam aksi ini mahasiswa UGM bergabung dengan ARY (Aliansi Rakyat Yogyakarta) yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat.

Tuntutan massa aksi:


1. Tindak tegas pelanggar Upah Minimum Provinsi (UMP).
2. Hentikan pemberangusan serikat buruh.
3. Hapus sistem kontrak dan outsourcing.
4. Berikan akses Jamkesos dan Kartu Menuju Sejahtera (jaminan kesehatan dan pendidikan).
5. Tolak diskriminasi buruh perempuan.
6. Tolak kenaikan harga BBM.
7. Turunkan harga sembako.
8. Cabut Pasal 7 ayat (6) a dan Pasal 18 UU APBN 2012.
9. Cabut UU Migas dan Penanaman Modal Asing.
10. Upah dan kerja layak bagi pekerja rumah tangga.

Terakhir adalah, penyerahan pohon harapan yang berisi harapan dari para buruh yang ada, pohon ini kemudian diserahkan kepada perwakilan DPRD DIY.
Secara keseluruhan, aksi berlangsung tertib dan damai. Selamat Hari Buruh !

Sumber:


Tentang DEMA Justicia (4): Kendaraan Tanpa KIK Dilarang Masuk Sosio-Yustisia


Terhitung mulai 18 Juli 2012, mahasiswa UGM yang tidak memiliki Kartu Identitas Kendaraan (KIK) tidak diperbolehkan parkir dalam kampus kluster Sosio – Yustisia. Kebijakan ini berlaku bagi lima fakultas, yaitu Hukum, Ilmu Sosial dan Politik (Isipol), Pertanian, Kehutanan, dan Teknik Pertanian. Mereka  yang tidak ber-KIK diharuskan menempati kantong parkir di luar fakultas seperti lembah UGM.

Pemberitahuan ini ditujukan khususnya kepada mahasiswa 2011 yang memang tidak berhak memiliki KIK. Pada saat registrasi, mahasiswa baru telah diminta menandatangani  surat perjanjian di atas materai berisi kesanggupan tidak membawa kendaraan bermotor  ke dalam kampus. Meski demikian, selama ini mahasiswa 2011 tetap bisa masuk area fakultas dengan menggunakan karcis kuning yang diberikan di portal kluster. Namun, mendadak muncul informasi pelarangan parkir di dalam fakultas di Facebook sehingga menuai respon kontra dari mahasiswa.

Drs. Supriyanto, MPA selaku Kasub Direktorat Pengelolaan dan Pengembangan Aset  (DPPA) UGM membenarkan hal tersebut . Ia menyatakan keluarnya kebijakan ini merupakan penegasan terhadap komitmen mahasiswa 2011. Peraturan ini, lanjut Supriyanto, juga merupakan implementasi dari Rancangan Induk Pengembangan Kampus  2005-2015 untuk menciptakan kampus educopolis. Ia mengatakan, educopolis diartikan sebagai kampus yang nyaman, aman, dan tidak bising. “Untuk itu kami mengantisipasikan  pertambahan jumlah kendaraan bermotor di sekitar kampus agar tidak menyebabkan kebisingan.”

Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk menghimbau mahasiswa yang tidak ber-KIK agar parkir di area lembah. Hal itu adalah sebuah upaya lanjutan setelah sebelumnya, spanduk-spanduk peringatan sudah dipasang di tiap-tiap fakultas. “Proses edukasi dilakukan secara bertahap untuk membentuk kesadaran mahasiswa,” terangnya

Hingga berita ini diturunkan, pihak DPPA masih belum memutuskan teknis pengecekan KIK yang akan digunakan. Kemungkinan karcis kuning akan ditiadakan atau mahasiswa yang tidak ber-KIK diharuskan membayar disinsentif masih belum diketahui. DPPA juga masih akan membahas prosedur pengecekan akan dilakukan di portal kluster atau di masing-masing fakultas. “Kemungkinan, pengecekan  akan dilakukan di fakultas, kalau di pintu depan dikhawatirkan macet,” ungkap Supriyanto.

Perihal dikeluarkannya kebijakan ini pada masa liburan, DPPA berdalih hal itu dilakukan agar tidak mengagetkan mahasiswa. Masa liburan dapat digunakan sebagai masa sosialisasi. “Justru apabila dikeluarkan secara mendadak di masa kuliah atau ujian, dikhawatirkan mengganggu kegiatan akademik,” ungkapnya.

Suharko, Wakil Dekan (WD) II Bidang Administrasi dan Sumber Daya Manusia Fisipol juga mengakui adanya informasi tersebut. Menurutnya, kebijakan itu merupakan kebijakan universitas yang diikuti oleh fakultas. Namun di sisi lain, Suharko mengakui kebijakan KIK sangat problematis.  Lahan parkir yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah. Ia mengharapkan solusi yang memadai. “Harapan kita kebijakan ini bisa dievaluasi, walaupun tidak  dalam waktu dekat,” imbuhnya. Suharko juga menyarankan mahasiswa  yang akan menggelar aksi sebaiknya melakukan dialog dengan pihak universitas.

Kebijakan ini mendapat reaksi negatif khususnya dari mahasiswa Fakultas Hukum (FH) dan Isipol. Heroik Muttaqin Pramana,  Ketua Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (Komap) UGM bersikap kontra terhadap  kebijakan ini. “Saya mendapat informasi ini dari surat edaran yang diberikan WD II ke seluruh Badan Organisasi dan Badan Semi Organisasi di Fisipol,” jelasnya. Ia menganggap kebijakan ini merupakan pembodohan terhadap mahasiswa. “ Memang benar kalau kita sudah tanda tangan di atas materai, tapi mahasiswa baru tidak dijelaskan gambaran konsep educopolis,” tambahnya.

Berdasarkan penuturan Mas Muhammad Gibran Sesunan, ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia, kebijakan tersebut sudah diberlakukan di Fakultas Hukum  (FH) seminggu sebelum ujian akhir semester. Gibran menuturkan, sejak saat itu, mahasiswa FH diperiksa di area parkir sisi timur dekat Fakultas Filsafat, bagi yang tidak memiliki KIK diarahkan untuk parkir di lembah. “Waktu itu kami sempat melakukan aksi di fakultas,” ungkap Gibran. “Namun Dekanbilang ini kebijakan universitas,”  lanjutnya.  Dalam aksi tersebut ia menyampaikan keluhan ke pihak dekanat, “Kalau parkir masih cukup, kenapa harus di lembah?” Ia juga menyayangkan pihak universitas yang tidak menyediakan fasilitas yang memadai. Penjagaan di area lembah juga dinilainya masih kurang, “Saat parkir di lembah, jam 6 sore motor kami sudah ditinggalin, padahal teman-teman FH di sini sampai jam 10,” ungkapnya.

Aksi yang dilakukan FH kemudian dikomunikasikan ke DPPA, namun diakui Gibran hal itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. “Selalu begitu dan penjelasannya juga selalu sama,” paparnya. Ia meyakini kebijakan ini masih merupakan lanjutan kebijakan lama. “Dalam pertemuan dengan rektor baru, Pratikno, ia berjanji akan mengevaluasi KIK, namun tidak dalam waktu dekat karena sedang disibukkan dengan agenda pemilihan pejabat universitas,” ungkapnya.

Gibran mengaku tengah berupaya menghimpun aksi yang lebih besar bersama fakultas-fakultas lain. “Kami sudah menghubungi Komap, dan mereka bilang siap untuk menggelar aksi,” ungkapnya.  Namun ia menyatakan, pembicaraan soal aksi belum mencapai kesepakatan. “Agak sulit juga menghimpun teman-teman  di tengah masa liburan,” pungkasnya. [Khalimatu Nisa, Mukhammad Faisol Amir]

Sumber:

Tentang DEMA Justicia (3): Kita Bukan Bangsa Pelupa


Kamis (6/10) pagi, syair lagu “Darah Juang” dikumandangkan keras berulang-ulang dari Boulevard UGM. Lagu ini diteriakkan sebagai yel-yel oleh lebih dari 20 mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Demo yang bertajuk “Menagih Janji, Menolak Lupa” ini diadakan dalam rangka menyambut hari di mana pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono genap berusia tujuh tahun. 

Hal ini diungkapkan dengan tegas oleh Gibran Sesunan, mahasiswa FH angkatan 2009, yang merupakan koordinator demo tersebut. “20 Oktober merupakan tujuh tahun pemerintahan SBY, dan untuk itu kami menuntut penyelesaian lima kasus yang terbengkalai di masa pemerintahan beliau.” ungkapnya.

Adapun kelima kasus yang dituntut adalah : kasus terbunuhnya aktivis Munir, skandal Bank Century, kasus menggembungnya kantong perwira Polri, kasus mafia peradilan, serta pelemahan KPK yang ramai diisukan. Meski dari sekian banyak tuntutan, mereka lebih fokus pada isu pelemahan KPK, di mana secara kelembagaan kinerja KPK dianggap lebih baik dari organisasi pemerintahan lainnya. Seakan benar-benar menolak untuk disebut pelupa, para mahasiswa tersebut menagih janji para pelaku pemerintahan untuk tidak tanggung-tanggung dalam menyelesaikan masalah.

Meski begitu, kelima tuntutan tersebut bukan satu-satunya tujuan dari demonstrasi tersebut. Komitmen sebagai mahasiswa yang peduli pada penegakan hukum juga ditegaskan. Untuk menunjukkan bahwa mahasiswa tidak lupa, aksi ini juga mengajak masyarakat agar tidak menjadi bangsa yang pelupa. 

Dalam selembar kertas berisi pernyataan sikap, para mahasiswa ini menegaskan permintaan mereka agar SBY membenahi pemerintahannya dan lebih peduli terhadap HAM. Karena terbengkalainya kasus Munir sebagai salah satu aktivis HAM membuktikan kecilnya kepedulian pemerintah atas bidang ini.

Aksi ini dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum 20 Oktober sebagai pengingat pada masyarakat. Pada 20 Oktober nanti, direncanakan akan digelar aksi serupa, hanya saja dalam skala yang lebih besar. “Kemungkinan gerakan serupa pada 20 Oktober nanti akan menghimpun seluruh BEM UGM, termasuk BEM KM,” ungkap Gibran. Menyambut hal tersebut, tampaknya UGM mesti bersiap untuk tidak diam. 

Karena, mengutip spanduk-spanduk besar yang dikobarkan, “Diam adalah Pengkhianatan!”. (Sonia Fatmarani)


Sumber:

Tentang DEMA Justicia (2): Menolak Lupa


Tolak Lupa, Mahasiswa Tuntut SBY Tuntaskan Kasus Hukum

JOGJA – Sekitar 50 mahasiswa Universitas Gadjah Mada menggelar aksi menolak lupa terhadap kasus hukum yang ada di Indonesia. Mereka menilai selama tujuh tahun pemerintahan SBY hingga kini dianggap tidak memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum. 

Aksi ini dilakukan di Bundaran UGM dan diikuti mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM, Kamis (6/10). Dalam aksinya mereka membawa aneka poster seperti 'Menagih Janji, Menolak Lupa', 'Century Sesuatu Banget Ya?' dan juga membawa tiga keranda. 

Keranda itu bertuliskan KPK, Munir dan Century dan digotong para mahasiswa saat berdemo. Saat menggelar aksi, mereka sempat memacetkan lalu lintas di seputar Bundaran UGM. Selain berorasi, mereka juga sempat menggelar aksi jalan mundur mengelilingi bundaran sebanyak dua kali.

Ketua Dema Justicia FH UGM, Gibran Sesunan mengatakan mahasiswa mengajak masyarakat untuk tidak lupa terhadap kasus korupsi dan hukum yang saat ini belum terpecahkan. 

Dia mengatakan saat kampanye SBY memberikan janji manis terutama dalam penegakan hukum. Namun pada kenyataannya, hanya ditegakkan setengah hati sehingga melukai rasa keadilan masyarakat. Dikatakan, banyak kasus yang belum diungkap seperti pembunuhan Munir yang belum terungkap aktor intelektualnya. Kasus dana bailout Century, rekening gendut, mafia politik dan anggaran hingga pelemahan KPK. “Masyarakat tidak boleh lupa, meluupakan atau mau dibuat lupa atas kasus hukum yang ada,” tuturnya.

Dituturkannya, sejumlah pengamat mengatakan bahwa masyarakat Indonesia gampang lupa dengan kasus-kasus tersebut. Maka, stigma itu ingin dihapus para mahasiswa lewat aksi menolak lupa. “Kami ingin membuktikan bahwa masyarakat tidak lupa dan menuntut SBY segera proaktif menyelesaikan kasus hukum yang ada,” tegasnya. 

Mahasiswa juga menggelar orasi menuntut agar SBY segera mengungkap kasus hukum. Mereka juga sempat menampilkan aksi teatrikal terkait mandulnya penyelesaian Century, kasus Munir dan pelemahan KPK lewat serangan dari berbagai oknum.

Yap....

Apakah kita akan lupa dengan kasus Century?

Apakah kita akan lupa dengan rekening gendut?

Apakah kita akan lupa dengan kasus mafia pajak dan mafia hukum?

Apakah kita akan lupa bahwa aktor intelektual pembunuhan Munir belum tertangkap?

Apakah kita akan lupa dengan korupsi Wisma Atlet?

Apakah kita akan lupa dengan suap kemenakertrans? 

Apakah kita akan lupa dengan kasus Trisakti?

Apakah kita akan lupa dengan kasus mahasiswa/orang hilang?

Apakah kita akan lupa dengan kasus Tanjung Priok?

Apakah kita akan lupa??

Jawabnya tentu : MENOLAK LUPA!



Sumber: