Senin, 18 April 2011

‘Quo Vadis’ Evaluasi Otda (Pandangan Lain atas Tulisan M.M. Gibran Sesunan Berjudul "Salah Arah Otonomi Daerah)

Pelaksanaan otonomi daerah di 497 kabupaten/kota serta 33 provinsi telah rampung dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan akan diumumkan 25 April mendatang. Hasil evaluasi ini akan menunjukkan bagaimana kinerja pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dalam melaksanakan fungsi otonomi daerah yang dilekatkan kepadanya. Tentu tidak sekadar menjadi pepesan kosong karena harapannya dari hasil evaluasi tersebut seharusnya menjadi patokan pembenahan otonomi daerah, apakah sesuai yang diharapkan atau sekadar menjadi bancakan para elite lokal.


Dari hasil evaluasi itu pula akan terjawab apakah kebijakan untuk melakukan pemekaran daerah menjadi tepat atau tidak. Tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang yang berbeda dari opini Salah Arah Otonomi Daerah (Lampung Post, 12-4). Menjadi penting kemudian berpikir apakah pemekaran menjadi hal yang relevan untuk tetap dipertahankan di tengah fakta kesia-siaan yang ditimbulkan dari pemekaran daerah.


Otonomi dan Jaminan Konstitusi

Jaminan konstitusi atas keberadaan otonomi menurut Bandyopadhyay dalam Administration, Decentralisation and Good Governance (1996) disebut sebagai a fairly sound format of good governance. Hal ini memberikan gambaran bahwa jaminan konstitusi atas otonomi adalah salah satu ciri terwujudnya good governance di suatu negara. Maka harus dimaknai keberadaan otonomi yang dilekatkan di daerah adalah sebagai upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.


Lebih jauh, Irene Tinker dan Millidge Walker dalam Planning for Regional Development in Indonesia (1973) menyebutkan demands of local autonomy and integrative nation-building are particularly strong in Indonesia given its diversity of cultures and variety of islands. Hal ini menegaskan bahwa pemberian otonomi harus dimaknai sebagai jalan menjaga tetap tegaknya negara kesatuan sehingga pemberian otonomi adalah upaya merekatkan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945). Maka, secara jelas otonomi haruslah diinsyafi sebagai cara “distribusi kesejahteraan” untuk mencapai cita negara sejahtera (welfare state). Terlebih sebagai konsekuensi luasnya wilayah Indonesia, diperlukan pelimpahan urusan agar mampu menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.


Jaminan konstitusi atas dilekatkannya fungsi otonomi di daerah menjadi nisbi dan tak berarti ketika pemekaran menjadi masalah karena pasca-dimekarkan daerah tidak lagi mampu mewujudkan idealita kelahirannya untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemekaran yang pada mulanya diharapkan sebagai jawaban atas keterbatasan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah ternyata hanya menjadi sekedar isapan jempol belaka. Terlihat hingga tahun 2009, ada 205 daerah baru hasil pemekaran, tapi 80% daerah pemekaran tersebut berkategori buruk. Lantas apa manfaat rakyat daerah dari pemekaran jika nyatanya pemekaran hanya sekadar sebagai mainan para elite lokal?


Pemekaran menjadi barang jamak yang menarik minat para elite lokal dikarenakan dengan adanya pemekaran, selain mendapat kucuran dana dari Pemerintah Pusat, daerah juga dilekati dengan otonomi daerah, di mana para penguasa daerah seolah menjadi raja kecil yang mampu mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya (vide Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945). Hal inilah yang terkadang mencederai semangat otonomi yang seharusnya untuk kepentingan rakyat daerah beralih menjadi kepentingan elite daerah.


Tidak (lagi) pemekaran, tetapi (hanya) penggabungan

melihat cita-cita mulia otonomi, maka pemerintah harus cermat dalam memberikan “izin” lahirnya daerah pemekaran baru. Jangan sampai idealita otonomi ternodai dengan lahirnya banyak daerah pemekaran yang lari dari substansi otonomi. Harus mulai dipikirkan bagaimana menghentikan laju pemekaran daerah dengan moratorium dan menggabungkan “produk gagal” pemekaran daerah agar tidak menyengsarakan rakyat daerah. Mudahnya lahir UU tentang pembentukan daerah baru yang notabene hasil pemekaran daerah juga menunjukkan lemahnya filter pemerintah dan DPR dalam membuat produk legislasi. Bagaimana mungkin pemerintah (Kementerian Dalam Negeri) yang melansir banyaknya kegagalan atas pemekaran, tapi di sisi lain banyak UU pemekaran lahir dengan mudah.


Penggabungan daerah menjadi hal yang relevan bahkan masuk akal, melihat fakta kesia-siaan yang ditimbulkan pemekaran daerah, terlebih memang hal itu dimungkinkan secara yuridis formal (vide Pasal 6 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Maka saat ini bola berada di tangan pemerintah untuk mulai menggiringnya menuju gawang yang tepat. Mengubah mainstream pembentukan daerah dari pemekaran menjadi penggabungan merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pemerintah yang sah menurut hukum. Harus diingat, pemerintah salah dalam melangkah, maka rakyat daerah yang "bersimbah darah".
 
Dian Agung Wicaksono
Asisten peneliti, Redaktur Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM


Dimuat di Harian Lampung Post, 16 April 2011
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011041522231812 

Kamis, 14 April 2011

Identitas Daerah Otonom Baru (Tanggapan atas Tulisan M.M. Gibran Sesunan Berjudul "Salah Arah Otonomi Daerah")

Kualitas pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yang digugat M.M. Gibran Sesunan dalam artikelnya Salah Arah Otonomi Daerah (Lampost, [12-4]) merupakan realitas yang menarik untuk didiskusikan. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) atau pemekaran wilayah, menurut istilah yang umum bagi publik dianggap sebagai salah satu cara mendorong akselerasi pembangunan daerah. Hal ini dapat dimaklumi, karena wilayah-wilayah perbatasan atau kawasan yang jauh dari ibu kota kabupaten atau kota sering dianaktirikan dalam pembangunan. Padahal pembangunan yang diharapkan memerlukan waktu yang panjang dari sekadar seremoni pembentukan DOB.


Agenda-agenda utama setelah pembentukan DOB justru dianggap menguntungkan elite politik lokal (perebutan posisi kepala daerah dan anggota legislatif), pejabat birokrasi (penempatan pos jabatan birokrasi), hingga kontraktor (pembangunan sarana perkantoran dan infrastruktur dasar kota). Tak heran, pemerintah melalui Presiden mengajukan opsi moratorium pemekaran wilayah sembari mengevaluasi perkembangan DOB yang ada mengingat sejak tahun 1999 hingga akhir tahun 2008 telah terbentuk 205 DOB


Dalam pembentukan DOB terdapat satu isu yang sering terlewat, yakni identitas DOB terhadap daerah otonom induknya. Identitas ini dapat berupa nomenklatur nama daerah, berikut identitas lain semisal lambang daerah maupun karakteristik yang hendak diasosiasikan kepada publik. Banyak DOB yang masih menyandarkan identitasnya pada daerah otonom induknya, terutama pada nomenklatur nama kotanya.


Kita urutkan dari Sumatera Utara, misalnya. Kabupaten Labuhanbatu dimekarkan bertambah menjadi Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2008. Masih pada 2008, Kabupaten Nias dimekarkan bertambah menjadi Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara. Di Sumatera Selatan Kabupaten Ogan Komering Ulu dimekarkan bertambah menjadi Kabupaten Ogan Kemoreing Ulu Selatan dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur tahun 2003. Di Jawa Barat, Kota Bandung berebut identitas dengan Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat yang baru dimekarkan tahun 2007. Masih untung Kota Cimahi tak berebut identitas menjadi Kota Bandung Barat ketika dimekarkan tahun 2001.


Identitas Sumba di Nusa Tenggara Timur juga diperebutkan oleh Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Kabupaten Sumba Tengah. Begitu juga Kabupaten Luwu di Sulawesi Selatan yang harus berbagi dengan Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara. Bahkan Kabupaten Maluku Tenggara Barat juga berebut identitas dengan Maluku Tenggara. Kalau kita membuat diagram delapan arah mata angin, maka sebelah barat arah mata angin tenggara sesungguhnya lebih tepat dan dekat dengan selatan, bukan Tenggara Barat. Bisa jadi Maluku Tenggara Barat yang beribu kota di Saumlaki memikul beban sejarah, akibat Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950. Ketimbang memiliki identitas Kabupaten Maluku Selatan yang dapat dikait-kaitkan dengan RMS, lebih baik menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, mungkin begitu kira-kira pikir pendiri kabupaten ini.


Citra Kota

DOB yang memiliki nomeklatur sama dengan nomeklatur daerah induknya semula cenderung tidak mampu membangun kota mandiri. Keberadaannya selalu berada dalam bayang-bayang daerah induknya semula. Paling tidak, publik akan terbolak-balik mengenang identitas Pekalongan sebagai kabupaten atau kota, begitu juga Magelang, Blitar, Tasikmalaya, Tangerang, atau Bekasi. Belum lagi bila dikaitkan dengan potensi unggulan daerah, meliputi identitas emosional, komersial, hingga karakter kunci (key attributes). Sebagai citra kota (brand city), identitas unggulan daerah dapat menjadi polemik antardaerah yang memiliki identitas abu-abu (gray area) ini. Meskipun sejumlah kalangan cenderung bersikap pragmatis, bahwa persoalan citra kota seharusnya tidak menjadi perdebatan ketimbangan usaha-usaha taktis menyejahterakan rakyat. Usaha membangun identitas baru ini pula tampaknya yang mendorong Kota Batu di Jawa Timur tidak memilih identitas Kota Malang Barat, meskipun ia berada di sebelah barat dan merupakan DOB Kabupaten Malang tahun 2001.


Mengubah nomenklatur nama daerah juga bukan tidak mungkin dilakukan, meskipun tentu akan menghadapi tantangan berat dari sejumlah pihak. Soal nomenklatur nama kota dengan mudah bergeser menjadi persoalan identitas, sejarah, dan harga diri daerah yang akan diperjuangkan secara sedumuk bathuk senyari bumi, adagium klasik Jawa yang secara bebas bermakna meskipun sedikit (dilanggar/dihina), tapi kepala seseorang, meskipun secuil yang diambil tapi tanah leluhur. Soal harga diri wilayah ini pula yang membuat sengketa wilayah atas Pulau Berhala antara Kabupaten Tanjungjabung dan Provinsi Jambi dengan Kabupaten Lingga dan Provinsi Kepulauan Riau berlarut-larut hingga kini.


Meskipun sulit, perubahan nomenklatur daerah telah banyak dilakukan. Di antaranya Kabupaten Sarolangaun Bangko yang dimekarkan sehingga bertambah menjadi Kabupaten Sarolangun tahun 1999. Menariknya, nomeklatur Kabupaten Sarolangan Bangko justru kemudian diubah menjadi Kabupaten Merangin, padahal kabupaten ini semula daerah induk. Baik Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Sarolangun memilih berbagi identitas, menjadi Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin, begitu juga Kabupaten Kepulauan Riau. Tak ingin nomenklaturnya identik dengan Provinsi Kepulauan Riau, kabupaten ini berganti nama menjadi Kabupaten Bintan. Identitas Kabupaten Bintan dapat lebih strategis menjadi citra kota baru yang lepas dari bayang-bayang Kepulauan Riau.


Moratorium pemekaran wilayah masih terus diperjuangkan pemerintah, meskipun dimaknai setengah hati oleh DPR. Kalaupun harus terbentuk DOB, sudah selayaknya soal identitas, utamanya nomenklatur nama kota DOB tersebut menjadi salah satu pertimbangan DPD, DPR dan pemerintah.


Febrie Hastiyanto
Pegiat Kelompok Studi Idea, alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo

Dimuat di Harian Lampung Post, 14 April 2011
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011041322244727

Selasa, 12 April 2011

Salah Arah Otonomi Daerah


Wacana pemekaran daerah kembali menyeruak. Di tengah upaya moratorium (penghentian sementara) yang sedang dilakukan pemerintah pusat, usulan pembentukan daerah otonom baru ternyata terus mengalir. Tercatat 214 daerah mengajukan diri untuk berotonomi.

Pascareformasi, pemekaran daerah di Indonesia memang benar-benar mekar, bahkan cenderung tak terkendali. Dalam kurun waktu 1999-2009 saja, telah ada 205 daerah baru, baik provinsi, kabupaten, serta kota, yang diberikan wewenang otonomi. Sejatinya, penerapan asas otonomi dan desentralisasi ini bertujuan untuk memotong rantai birokrasi dan mendekatkan jarak antara pemerintah dengan rakyatnya sehingga cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) dapat segera terwujud. Tapi realita berkata lain, otonomi daerah justru tak menghasilkan kondisi yang lebih baik.


Salah Arah

Euforia pemekaran daerah memang luar biasa. Dalam tataran idealis, tentu kita setuju bahwa otonomi daerah adalah salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa otonomi daerah kini salah arah.

Banyak daerah otonom baru yang ternyata tak memenuhi kualifikasi. Bayangkan, terdapat kabupaten yang jumlah penduduknya hanya dua belas ribu saja, mungkin hanya setara dengan dua kecamatan saja. Juga kabupaten yang hampir seluruh wilayahnya hutan lindung sehingga pembangunannya justru berpotensi merusak lingkungan. Tentu ini sudah melenceng dari tujuan luhur penerapan otonomi daerah.

Bukan hanya itu, dari segi operasional pemerintahan, keberadaan daerah otonom baru justru malah mengacaukan keuangan negara. Menurut data Mendagri Gamawan Fauzi, 87 persen APBD pemekaran bersumber dari anggaran pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan juga lebih banyak merepotkan daerah induk, baik dari segi finansial, sumber daya, maupun infrastruktur, karena mayoritas pengusul pemekaran daerah hanya fokus pada tujuan pemekaran, kemudian asyik berpolitik dan melupakan hal-hal mendasar dalam pemerintahan.

Ketidaksiapan daerah baru untuk menjalankan pemerintahan bukan hanya membuat kinerja pemda menjadi lamban, tetapi juga rawan diboncengi korupsi yang ikut terdesentralisasi. Masih lemahnya sistem birokrasi, serta belum matangnya komunitas masyarakat sipil yang (mungkin) masih terjebak euforia atau memang belum siap mengawal demokrasi daerah, membuat pengawasan banyak celah untuk disusupi perilaku koruptif. Pengisian pos pemerintahan sementara juga rawan kolusi dan nepotisme. Pengisian jabatan yang menjadi hak prerogatif kepala daerah dapat dijadikan ajang “perpanjangan tangan” yang bisa menimbulkan solidaritas untuk melakukan korupsi berjamaah kemudian saling melindungi.

Cita-cita demokratisasi di daerah juga terancam dengan maraknya nepotisme di daerah. Partisipasi politik masyarakat terhalang karena banyaknya pejabat yang mengikutsertakan kroni-kroninya dalam pilkada sehingga akan timbul kutub-kutub politik yang berpatronase. Tidak heran jika Presiden Yudhoyono pernah menjustifikasi bahwa 80 persen daerah otonom baru adalah produk gagal.


Kualitas Otonomi

Semangat pemekaran daerah harus dibarengi dengan kesiapan daerah tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diadakan evaluasi terhadap daerah otonom baru yang sudah ada agar dampak negatif dapat dicegah dan diminimalisasi dan kualitas daerah baru menjadi lebih baik. Untuk itu, langkah moratorium yang diambil pemerintah harus dilaksanakan terlebih dahulu  sembari membenahi sistem secara komprehensif agar otonomi daerah berjalan sukses.

Syarat pemekaran harus dipertegas agar tidak dijadikan celah untuk memaksakan agenda pemekaran serta perlu ada kejelasan cetak biru dan grand design arah otonomi daerah sehingga pelaksanaan otonomi dapat berjalan sinergis dengan tujuan pembangunan nasional.

Di sinilah kearifan kita sebagai masyarakat diuji. Hasrat pemekaran harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, dan kita perlu menyadari petuah Brian C. Smith (1998) bahwa pemerintahan tingkat lokal adalah fondasi kehidupan nasional.



M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Dimuat di Harian Lampung Post, 12 April 2011

http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011041121514329