Jumat, 28 Oktober 2011

Untuk Kamu..

Aku tidak kemana-mana, aku tidak akan kemana-mana...

Negeri Para Bedebah, (Semoga) Bukan Indonesia


NEGERI PARA BEDEBAH

karya Adhie Massardi
Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Ada perasaan ngeri ketika membaca puisi karya Adhie Massardi ini. Gambaran sebuah negeri yang kusut berselimut kebohongan dan kemunafikan. Di mana negeri itu? Siapa penguasanya? Mana rakyatnya?

Cukup kuatkah kita mengusir para bedebah itu? Dengan cara apa dan bagaimana? Apa kita termasuk golongan yang lemah iman perjuangannya? Atau malah sama sekali tak punya iman perjuangan?

Satu hal yang niscaya. Bangkit melawan atau mundur tertindas, karena diam adalah pengkhianatan!

Jumat, 14 Oktober 2011

Kamu, Puisi

Malam itu kamu pinta aku buatkan puisi untukmu
Aku jawab sudah, puisiku untukmu
Apa benar jawaban itu?
Aku ragu

Puisi itu untukmu
tapi aku hanya sungkan
karena kamulah puisi itu
Kamu.. puisi
maka puisiku tak pantas disandingkan dengan kamu
Karena kamu.. puisi


-Untuk kamu, 14 Oktober 2011, malam hari di Dema Justicia-

Izinkan Aku Berdemonstrasi


Mengapa aku aksi (baca: demonstrasi)? Pertanyaan reflektif yang seringkali muncul dalam hati terhadap apa yang telah aku lakukan dalam hari-hari sebagai mahasiswa. Berpanas-panasan di jalanan, terkadang meninggalkan bangku kuliah, pandangan miring sebagian dosen dan sesama mahasiswa, dan dianggap tidak ilmiah ternyata sama sekali belum bisa membuatku mengurungkan niat untuk tak berdemonstrasi. Ini jalan yang aku pilih.


Prestasi?

Setiap perjuangan memerlukan restu, dan doa orangtua adalah segalanya. Kalimat ini yang selalu tertanam dalam diriku. Kebanyakan mahasiswa yang demonstran mungkin pernah atau akan merasakan betapa kuatnya larangan orang tua agar tak ikut demo. Aku pun merasakan, mulai dari suruhan untuk rajin belajar dan kuliah, wejangan bahwa demonstrasi adalah kesia-siaan, hingga sindiran-sindiran setiap kali melihat demonstrasi yang berakhir ricuh di layar televisi. Semua kudengar, coba kupahami, walaupun belum juga menyurutkan aku untuk segera kembali “ke jalan yang benar” versi mereka yang tak sepakat dengan demonstrasi.


Untukku, ada sebuah pedoman standar yang harus dipenuhi: orang tua mengirim anaknya jauh merantau di negeri orang untuk belajar dan mencari ilmu, serta pulang dengan kesuksesan, atau setidaknya dengan modal kesuksesan. Inilah amanah pertama dan utama, dan setiap amanah wajib ditunaikan. Ini juga bukti bahwa demonstrasi tak menghambat prestasi. Tak dapat dipungkiri, IPK masih menjadi tolak ukur prestasi  akademis paling mudah (paling lumrah?) untuk menilai seorang mahasiswa. Ada juga beberapa orang teman menambahkan: berprestasi adalah sering ikut acara di luar negeri. Berprestasi adalah rajin kuliah, bukan malah berdemonstrasi, dan lain sebagainya.


Tapi buatku, berprestasi dan cara memaknainya adalah hak setiap orang. Tak adil rasanya jika kriteria berprestasi sudah dipukul rata, sementara minat, bakat, dan kemampuan setiap orang berbeda-beda. Berprestasi untukku belum tentu berprestasi bagimu. Ada yang menganggap (dan dianggap) berprestasi ketika ia memenangi lomba, tapi ada pula yang menjadikan usaha-usaha mengadvokasi pedagang kaki lima sebagai prestasi. Betapa luasnya ladang prestasi, sehingga sepantasnya pemaknaan terhadapnya dikembalikan pada masing-masing orang tanpa harus membanding-bandingkan, apalagi saling meniadakan. Mereka memiliki tempat di hati para pengejarnya, terlebih bagi mereka yang merasakan manfaatnya. Alhamdulillah, orang tuaku paham dan mulai bisa mengerti.

Diam adalah Pengkhianatan!

Setia di garis massa, karena diam adalah pengkhianatan! Itulah jargon para punggawa Forum Advokasi, tempat dimana aku pernah ada dan berada. Itu pula yang menjadi jargon Dema Justicia, sebuah rahim tempat kami biasa bertukar pikiran, berdiskusi, dari tertawa hingga marah.  Aku percaya kalimat ini, dan karena itu aku bergerak.


Pilihan sikap adalah warna yang menggerakkan. Bukankah hidup adalah pilihan? Dan aku pilih berdemonstrasi. Tetapi aku juga meyakini, hanya berdemonstrasi pun tak akan banyak mengubah keadaan. Jika ku jawab: aku kuliah. Ah itu memang tugas mahasiswa, tak ada yang istimewa dari itu. Semua mahasiswa begitu, mereka berkuliah. Mengejar prestasi individual: ke luar negeri, ikut kompetisi, seminar. Beberapa sudah kucapai dan tak berhenti aku mengejarnya. Ah, betapa naifnya aku yang hidup di tengah-tengah bangsa yang sedang kesusahan, begitu marak korupsi sementara di sudut-sudut sana ada anak busung lapar, anak jalanan putus sekolah, takterjangkaunya biaya masuk kampus kerakyatan, petani yang dikriminalisasi kala memperjuangkan haknya untuk hidup, hukum yang ditegakkan tanpa nurani nir keadilan, tetapi prestasi itu hanyalah prestasi individual, padahal aku kuliah pun atas subsidi orang-orang kecil yang membayar pajak.


Temanku, seorang mahasiswa Fisipol UGM yang menurutku memiliki kemampuan analisis yang tajam, pernah mengingatkan dalam tulisannya: menulis adalah selemah-lemahnya iman perjuangan. Begitu menohoknya kalimat itu. Saya pun akhirnya memilih juga berjuang dengan tulisan. Dosen favoritku, Mas Ucenk (Zainal Arifin Mochtar,S.H., LL.M.), pun selalu memotivasi mahasiswanya untuk menulis. Ia bilang: tugas utama mahasiswa hanya tiga; membaca, menulis, berdebat. Rekan seperjuangan di Departemen Aksi dan Propaganda Dema Justicia FH UGM menambahkan: aksi. Sehingga tugas utama mahasiswa versi Akspro adalah “nge-BAND”: Baca, Aksi, Nulis, dan Debat”.


Yang jelas, aku percaya bahwa setiap perjuangan selalu membutuhkan orang-orang yang duduk dalam ruangan serta juga orang-orang yang berteriak di luar pagar. Efeknya sama-sama penting, maka tinggallah berbagi peran. Sekali lagi, ini pilihan sikap. Memilih untuk tidak memilih pun juga pilihan, maka ia harus dihargai. Menghormati pilihan yang diambil adalah kewajiban. Yang memilih berdemonstrasi, tetap hargai mereka yang tak memilih itu, tak perlu mengejek, sebisa mungkin meminimalisasi kemacetan di jalan raya. Yang tak memilih berdemonstrasi, jangan pula menghina dan mencibir mereka yang berdemonstrasi. Sekali lagi, lagi-lagi ini pilihan yang harus dihargai. Aku yakin ini hanya perbedaan cara, maka biarkanlah menjadi akumulasi ikhtiar-ikhtiar perbaikan negeri. Bukankah kegemilangan zaman adalah akumulasi karya antarperadaban? Uda Ahlul Badrito Resha, panutanku selama jadi mahasiswa, selalu yakin hal itu.


Keyakinanku, dari berbagai pilihan yang ada, tak ada sesuatu yang abu-abu, maka yakinilah dan perjuangkanlah. Di sesi akhir perkuliahan semester II, Mas Ucenk berkata: syarat menjadi sarjana hukum hanya dua, yaitu berpihak dan mendapat ijasah. Dengan berpihak, maka kalian telah menjadi setengah sarjana hukum. Goenawan Mohamad menegaskan bahwa tak ada yang salah dengan keberpihakan, apalagi keberpihakan yang didasari keyakinan dan kepentingan banyak orang. Eko Prasetyo pun berujar, bahwa hidup adalah berpihak. Maka aku berpihak. Kepada siapa? Kepada rakyat. Rakyat yang mana? Dapatkah kutunjuk rakyat yang mana yang menjadi dasar aku berpihak?


Kepada rakyat yang kesal karena macetnya jalan, aku mohon maaf sebesar-besarnya. Tak kuinginkan pula macet itu, sementara jalanan kita hanya sedemikian lebarnya, dan kita masih harus berbagi. Maka dengan permintaan maaf ini, izinkanlah kami memakai sebagian jalan yang juga hak kami, untuk sementara waktu saja. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanan yang kami buat. Tapi kami yakin, masih banyak rakyat di antara 237 juta anak bangsa yang nasibnya lebih buruk dari sekadar tak nyaman. Mereka tak pernah minta kami membelanya, tapi kami sadar, mereka harus dibela. Aku juga yakin mereka ingin berteriak, hanya tak tahu mengungkapkannya bagaimana, dengan cara apa, dan kepada siapa. Yang tak berdemonstrasi pun aku yakin membela, namun dengan cara yang berbeda. Aku yakin nurani bangsa ini masih nyata dan ada. Maka haruskah menunggu hingga ada gelar sarjana?

Beberapa kali aku tak masuk kuliah karena aksi. Tapi sejak awal, karena aksi atau bukan, kuliah adalah amanah yang harus dijaga dan ditunaikan. Maka prinsipku, boleh saja tidak masuk kuliah, asalkan jangan sering-sering, dan tidak masuklah secara bertanggungjawab. Ya, tidak titip absen, tidak mencontek saat ujian, dan bisa mengerjakannya dengan baik. Itu saja. Buatku, belajar di kampus adalah amanah orang tua, dan berorganisasi, aksi, dan demonstrasi kuanggap amanah rakyat yang mahasiswa sandang, mau ataupun tidak mau, ex-officio mahasiswa terhadap rakyat yang menitipkan asa. Semua orang itu guru, alam raya sekolahku. Begitu syair sebuah lagu dari Sebumi. Belajar tak pernah menjadi hanya sebatas ruang kelas.

Aksi bukan cara satu-satunya, bukan pula cara pertama dan terakhir, karena tersedia banyak jalan. Aksi pun tak cuma aksi, ada alur yang merangkainya menjadi sebuah aksi, misalnya diskusi dan berdebat. Ada dialektika intelektualitas yang mewarnainya. Aksi hanya satu jalan yang dipilih, dan tak memilihnya pun bukan sebuah dosa. Tapi lagi-lagi aku percaya, perubahan selalu diinisiasi segelintir orang, tapi tak akan pernah selesai tanpa keterlibatan banyak orang yang terorganisir.


Sebelum tulisan ini ditutup, aku pinjam pertanyaan Uda Rito dalam tulisannya berjudul “Sisi Lain Pasca-Aksi”. Akankah semangat dan keberpihakan ini akan sirna? Dan mungkinkah aku nanti menjadi orang yang dipersalahkan di kemudian hari oleh sebuah massa aksi? Kupinjam juga jawabannya: semoga aku dipertemukan dengan orang-orang yang mempunyai pikiran dan tindakan besar untuk bangsanya. Yang senantiasa menjaga asa, menghidupi semangat yang membaja, dan mewarnai hari dengan karya. Jawaban pertanyaan kedua:  cukuplah QS As-Shaf: 3 menjadi peringatan bagiku: “sangat besar murka Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Semoga keberpihakan itu tetap hadir dalam tiap waktu yang menguji kesetiaan, dan ikhtiar hari ini mampu menjadi pelecut sekaligus pengingat di hari depan.

Tuhan, kami hanya punya satu negeri, tak punya yang lain. Yang bisa kami harapkan, kami bangun, kami bangkitkan, kami pakai tanah dan airnya. Bisa jadi ini kutukan, atau takdir, atau juga pilihan. Goenawan Mohamad lagi-lagi aku kutip: Indonesia dalam kemenangan, dalam kekalahan, dalam kegembiraan, dalam kesedihan, Ia ada dalam hidup kita, dan kita ada dalam hidupnya. Hiduplah Indonesia Raya….!

Rabu, 12 Oktober 2011

Yakinmu, Yakinku, Yakin Kita

Yakinmu dan yakinku adalah yakin kita
karena tak ada pedang tajam tanpa ditempa besi panas terlebih dahulu.
Siang malam pun harus terjadi kala ingin bumi terus berputar, ia keniscayaan.
Bisa jadi kamu besi, atau panas, atau siang, juga malam.

Resahmu seharusnya juga jadi resahku
meski belum tentu resahku adalah resahmu
karena tak pernah ada aku tanpa kamu...

Aku adalah aku, tapi tanpamu, aku tak sempurna menjadi aku
maka aku bukanlah aku.

Aku harus sempurna, setidaknya dianggap sempurna, setidaknya lagi: untukmu aku sempurna
meski yang sempurna adalah ketidaksempurnaan.
Entah dengan apa lah aku menjadi sempurna
Mungkin denganmu...
Karena untukku, yakinmu dan yakinku adalah yakin kita.


-Yogyakarta maghrib, warung makan tepi jalan, September 2011-