Jumat, 29 Oktober 2010

Asa Anak Bangsa: Satu Hati, Satu Rasa (Part 3)

Selalu sadar dan tahu, tak kurang satu apa pun bagi bangsa ini untuk terus maju mengarungi samudera zaman yang keras, tajam, nan penuh liku..
Kelokan yang membelokkan, badai yang memutar haluan, angin yang membawa..

Berapa puluh ribu nasi bungkus, bertumpah-ruah sedikit mengobati luka dan pilu, datang dari delapan penjuru mata angin..
Berapa banyak orang berbondong menolong dengan apa yang mereka bisa, menolong yang perlu ditolong, membantu apa pun yang bisa dibantu, bahkan tak sedikit berkalang nyawa..
Bahkan serombongan anak sekolah dasar pun ikut menyumbangkan mainan terbaik mereka untuk dimainkan saudara-saudaranya yang kini tidur di tempat, yang mungkin, paling tidak nyaman yang ada di bumi manusia ini...
Tak semua berpunya, tak semua kaya, tapi satu yang membuat sama...

Di hari-hari yang kian terasa panjang , diam kala ini membuat resah, tidak tenang..
Diam, apalagi pergi, seolah mengkhianati..
Diam, tak pantaslah rasanya manusia bernurani hanya diam melihat saudaranya sedang kesusahan..
Bukankah kita Indonesia, satu hati satu rasa? Sakit ketika yang lain sakit, dan luka jika sahabat terluka?

Deru debu, bahkan kerikil yang jatuh, gemuruh, dan amukan sang gunung membuat titik-titik manusia harus turun dari beranda rumahnya.. Pesona indahnya sang gunung menyimpan bara tak terkira..

Tak perlu kuceritakan kisah pilu di sini, karena banyak cerita lain yang membuat manusia seharusnya bisa lebih bersyukur dengan apa yang mereka punyai, mereka miliki.. Dan selalu ada makna di balik setiap kejadian..

Sedikit saja, doa seorang ibu di hadapanku yang menggendong bayi mungilnya, berucap: "Bismillah Ya Allah, jangan pindah lagi pengungsiannya, sudah empat kali pindah pengungsian, kasian anakku".. cukup menyabet dan mengiris hati dan jiwaku, seseorang yang belum bisa mengabdi banyak untuk sesamanya, apalagi untuk bangsanya..

Tapi inilah kami, inilah Indonesia.. Ini cara kami memelihara asa.. Dan kami yakin dengan beribu keyakinan, bangsa ini akan lebih baik, dan sekarang adalah pelajaran bagi kami, untuk mensyukuri hidup, untuk terus berjuang, dan untuk terus menyambung harapan dengan perjuangan..

Lindungi kami, kita, dan semua yang menundukkan diri di bawah kekuasaanMu Ya Allah, Engkaulah sebaik-baik tempat berlindung, dan Engkaulah sebaik-baik tempat kembali...

didedikasikan kepada mereka yang sedang berjuang.. kepada mereka yang seketika bangkit setelah lelah berjuang.. kepada mereka yang meneteskan keringat dan hartanya.. dan kepada mereka yang menyisihkan sebagian hati dan pikirannya..


Bangkit itu SUSAH...
susah melihat orang lain susah, senang melihat orang lain senang

Bangkit itu TAKUT..
takut korupsi, takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu MENCURI..
mencuri perhatian dunia dengan prestasi

Bangkit itu MARAH..
marah bila martabat bangsa dilecehkan

Bangkit itu MALU..
malu jadi benalu, malu karena minta melulu

Bangkit itu TIDAK ADA..
tidak ada kata menyerah, tidak ada kata putus asa

BANGKIT ITU AKU.. UNTUK INDONESIAKU


Puisi "Bangkit" by: Deddy Mizwar

Kamis, 28 Oktober 2010

Merombak Kabinet Politisi


Setahun sudah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beserta Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II berjalan. Klaim capaian dan kesuksesan juga sudah banyak dilontarkan pihak Istana. Terakhir Presiden Yudhoyono mengklaim bahwa Pemerintah berhasil mengurangi angka kemiskinan sebesar 3.6 persen, yang menurutnya jauh lebih baik dibandingkan pencapaian negara lain. Klaim tersebut ternyata taak sejalan dengan kenyataan karena banyak pihak menilai kinerja Pemerintah masih jauh dari harapan. Hasil riset Lingkar Survei Indonesia (LSI) secara umum menunjukkan kinerja Pemerintah mengecewakan masyarakat.


Survei LSI menunjukkan bahwa Pemerintah hanya dianggap sukses di bidang sosial dan keamanan selebihnya gagal di berbagai bidang strategis lain yaitu hubungan internasional, politik, ekonomi, dan penegakan hukum.

Kabinet Politisi

Tahun pertama usia pemerintahan Yudhoyono menjadi momentum untuk mengevaluasi kinerja para menteri yang notabene merupakan ujung tombak pemerintah dalam menyukseskan program-programnya. Salah satu penyebab kegagalan atau tidak maksimalnya kinerja pemerintah adalah penempatan menteri yang tidak didasarkan pada kompetensi dan kapabilitas melainkan lebih pada pendekatan politis. Jika dipersentasekan, jumlah menteri yang berasal dari partai politik anggota koalisi lebih dari separuh dibandingkan menteri dari kalangan profesional


Pada dasarnya tak menjadi masalah jika kursi menteri diisi oleh wakil parpol asalkan berkompeten dalam bidangnya dan profesional dalam bekerja. Bisa dilihat contohnya adalah Mendagri Gamawan Fauzi dari Partai Demokrat dengan program rasionalisasi reformasi birokrasi yang telah ia canangkan dan mulai, serta usaha-usaha mengamankan uang negara di daerah dengan melarang kepala daerah menerima fee APBD. Atau M.S. Hidayat yang mewakili Partai Golkar di kabinet yang memang berasal dari kalangan profesional.














Yang menjadi masalah ketika pos menteri diisi oleh para politisi yang tak jelas asal-usul kompetensinya seperti saat ini. Banyak menteri yang kinerjanya tak bergaung. Gaung bukan untuk dijadikan ajang prestise, tapi setidaknya agar masyarakat tahu bahwa pemerintah ada untuk bekerja bagi rakyat. Kabinet justru lebih banyak dijadikan ajang tawar-menawar politik ketimbang sarana untuk menyejahterakan rakyat. Jadilah kabinet saat ini penuh sesak dengan para politisi yang menjadi “jualan” parpol.


Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian PDT adalah contoh kementerian tanpa gaung seperti jalan di tempat. Sedangkan Sekretariat Negara, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, serta Kementerian Hukum dan HAM adalah kementerian yang justru retrogresif, kinerjanya mundur dengan seolah-olah maju di tengah kecompang-campingannya Yang paling aktual yang membuat publik pesimis dengan keadaan kementerian tersebut adalah kecelakaan kereta api, sementara Mensesneg bertanggungjawab atas beberapa kasus maladministrasi pemerintahan, dan untuk Menkumham adalah pemberian remisi dan grasi bagi terpidana koruptor. Bahkan baru-baru ini Menkumham seperti ketar-ketir kinerjanya semakin disudutkan dengan tampilnya acara televisi yang membongkar kehidupan seks di lembaga pemasyarakatan. Kesemua menteri dari kementerian di atas berasal dari parpol, dan menjadi bukti bahwa saat ini pengisian pos menteri lebih pada transaksional politik dagang sapi semata.


Zaken Kabinet

Nada minor publik terhadap kinerja pemerintah harus dijadikan momentum merombak kabinet yang penuh dengan para politisi ini. Prakondisinya sudah mencukupi untuk melakukan perubahan. Saatnya kabinet diisi oleh para ahli (zaken kabinet). Meskipun rasa-rasanya konstelasi politik tak akan memungkinkan pengisian kabinet dari kaum profesional secara keseluruhan, tapi setidaknya jikalau dari parpol, seyogyanya benar-benar orang yang tepat agar pemerintahan empat tahun ke depan dapat berjalan efektif dan progresif.


Dalam menggunakan hak prerogatifnya, Presiden harus berani mengambiil kebijakan ekstrem, bukan hanya sebatas mengganti menteri politisi dengan politisi dari partai yang sama, atau dengan orang yang sama tak mumpuninya. Jangan sampai kabinet hanya dijadikan tempat berpolitik patron-klien seperti yang diistilahkan David Brown (1996) dengan neo-patrimonial state, pola relasi kekuasaan penguasa sebagai patron dan para elite politik di sekitarnya menjadi klien yang diberi kekuasaan.


Rapor merah Pemerintahan Yudhoyono setahun belakangan sepantasnyalah dijadikan momentum evaluasi kabinet. Saatnya mengisi kursi menteri dengan orang-orang yang sudah teruji kemampuannya agar program pemerintah dapat dikonversikan dengan baik menjadi usaha-usaha nyata yang prorakyat.

M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Irasionalitas DPR

Pemberantasan korupsi masih menjadi isu yang mendapat banyak catatan selama ini. Tentu saja institusi yang juga menjadi perhatian masyarakat ketika melihat korupsi yang kian marak yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Setelah upaya-upaya sistematis melemahkan KPK datang silih berganti, beberapa waktu silam mulai ada secercah titik terang untuk menyelamatkan KPK, yakni dengan terpilihnya Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas sebagai calon pimpinan yang diajukan pemerintah ke DPR untuk kemudian dipilih satu nama.


Ternyata, indikasi-indikasi pelemahan tak berhenti sampai di situ. Proses pemilihan satu pimpinan KPK ternyata mendapat ganjalan keras dari parlemen. Sampai saat ini DPR masih belum menyepakati masa kerja pimpinan terpilih. DPR menghendaki satu tahun, sedangkan pansel (panitia seleksi) dan banyak masyarakat menghendaki empat tahun. Perdebatan ini yang membuat proses pemilihan mengambang dan mandek.


Irasionalitas DPR

Hulu perdebatan bermula dari adanya asumsi masing-masing pihak mengenai pemilihan pimpinan lembaga superbodi yang sedang gopoh ini. Pansel berpandangan idealnya pimpinan baru mendapat masa jabatan empat tahun sesuai dengan Undang-Undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, Komisi III DPR menilai masa jabatan pimpinan terpilih yakni satu tahun, dengan alasan yang terpilih nantinya hanya menggantikan dan meneruskan masa jabatan dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar.


Dalam UU KPK memang tidak diatur secara eksplisit tentang masa jabatan dalam hal terjadi pergantian pimpinan di tengah jalan. UU hanya menyatakan masa kerja pimpinan KPK yaitu empat tahun. Jika diamati dengan tafsiran bebas, tentunya pendapat masing-masing pihak yang belum mencapai titik temu ini keduanya benar. Namun, jika ditilik dari aspek kemanfaatan, tentunya pendapat DPR menjadi irasional.


Disebut demikian karena sangat disayangkan jika calon pimpinan yang telah dipilih pansel dengan menghabiskan anggaran dua setengah miliar rupiah hanya diberikan masa jabatan setahun saja. Terlalu mahal dan tidak efisien. Padahal, tak ada ruginya jika memberikan masa empat tahun.


Selain memberi waktu lebih banyak bagi pimpinan terpilih untuk membuktikan tajinya, juga sekaligus menjadi acuan KPK untuk mulai menerapkan trigger mechanism dalam pergantian pimpinan, yakni pimpinan tidak diganti dalam waktu bersamaan. Mekanisme ini sudah lebih dahulu diterapkan di banyak negara, seperti Amerika Serikat. Keuntungannya yakni lebih menjamin keberlanjutan kinerja institusi serta mempercepat adaptasi pimpinan baru.


Kekuatan Rakyat

Perdebatan tak berkesudahan tentunya akan merugikan KPK secara kelembagaan dan lebih luas lagi masyarakat dan negara. Karena, satu pos pimpinan yang kosong tak kunjung terisi dan posisi dua pimpinan lainnya, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, sedang kembali bergejolak seiring ditolaknya peninjauan kembali SKPP Kejaksaan oleh Mahkamah Agung sehingga perkaranya harus masuk pengadilan.


Terlebih, pro-kontra ini terkesan untuk mengulur waktu yang bisa saja dijadikan ajang partai politik di parlemen untuk berkonstelasi memulai kembali politik transaksional dagang sapinya. Yang lebih dikhawatirkan yakni jika parlemen menjadi tunggangan para koruptor dan mafia yang ketar-ketir dengan masuknya salah seorang dari dua nama yang sudah tak asing lagi ketajaman dan kegarangannya dalam dunia hukum.


Kita patut mengapresiasi kinerja pansel yang berhasil memilih dua putra terbaik bangsa sebagai calon pimpinan KPK. Tak ada yang meragukan kapasitas dan integritas kedua calon, Bambang dan Busyro, dan sekaranglah saatnya rakyat Indonesia menunjukkan supremasinya untuk terus berusaha memberikan pertimbangan. Dengan kata lain, merasionalisasi pendapat parlemen.


Peran masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk menjadi katalisator pendorong komitmen para anggota Dewan—yang katanya wakil rakyat—untuk mendengar suara rakyat.


Meski berwenang menentukan masa jabatan pimpinan KPK yang baru, DPR sepantasnyalah rasional dalam mengambil keputusan serta mendengar aspirasi-aspirasi yang muncul di masyarakat untuk memberi empat tahun masa jabatan pimpinan KPK. Jangan sampai para wakil rakyat terjebak logika formalistik dengan mengatakan pimpinan KPK yang baru hanya untuk meneruskan pendahulunya, Antasari Azhar, sehingga memaksakan masa jabatan setahun saja.


Semoga wakil rakyat terketuk nuraninya agar berhenti menghamburkan uang negara untuk hal-hal yang bisa dilakukan secara lebih efisien dan bermanfaat. Semoga.


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM


*Dimuat di Harian Lampung Post, edisi Senin 25 Oktober 2010

Minggu, 10 Oktober 2010

Asa Anak Bangsa: Teruntuk Dia, Sebuah Catatan (Part 2)

teruntuk dia, yang mengisi hari dan hati..
tak lelap, tak padam.. hempasan bahkan mengokohkan..
merawat, dan membangkitkan..

teruntuk dia, yang datang ketika yang lain pergi..
yang tak gentar ketika yang lain tergetar..
yang tak lelah ketika yang lain berkesah..

sebuah catatan kuberikan, teruntuk engkau yang terus kuat memikul beban..
sebuah catatan kugoreskan, teruntuk engkau yang tak runtuh lalu terlempar

ingatlah, ingat akan semua yang dijanjikan
ada makna di balik air mata..
tak pernah ada hampa, karena rasa yang selalu menjaga..
tak akan hening, karena suara-suaramu, dan suara-suara kita selalu menorehkan asa
sebuah asa, dan banyak asa..

jalan mulus hanya bagi mereka yang tidak pernah berjalan..
tegaklah, berikan dunia senyummu, dan senyum kita..
asa bukan batu yg jatuh dari langit
asa ditumbuhkan, asa dibangkitkan

lelah datang dan pergi adalah keniscayaan..
sedikitnya waktu adalah kepastian..
dan menjadi kuat setegar karang adalah pilihan..!




salam terhangat dari hati terdalam..

(MMGS)