Senin, 05 Desember 2011

Korupsi Sumber Daya Alam: Dominan tapi Dilupakan

Pekan Raya JUSTISIA 2011

Pengawalan agenda pemberantasan korupsi hari ini lebih terfokus pada korupsi politik dan mafia peradilan, dan justru terlupa bahwa salah satu sektor yang dominan menjadi lahan korupsi adalah sektor sumber daya alam dan mineral. Limpahan kekayaan alam justru menjadi kutukan karena tetap saja rakyat menderita lalu angkat senjata.

Sebagai pengingat dan pelecut semangat antikorupsi, Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menggelar seminar nasional dengan tajuk “Kerusakan Nyata, Kesejahteraan Fana, Korupsi Sumber Daya Alam Indonesia” pada Sabtu (3/12/2011) di Auditorium MM UGM. Acara tersebut merupakan puncak dari rangkaian Pekan Raya Justisia 2011.

Pemaparan hasil kajian Dema Justicia tentang korupsi sumber daya alam di Indonesia menjadi pembuka seminar tersebut. Selanjutnya, sesi pertama diisi oleh Direktur Eksekutif WALHI Berry Nahdian Forqan  yang mengangkat fakta tentang suramnya kondisi pertambangan. Rakyat sekitar tidak menikmati, namun terkena dampak paling besar akibat ulah perusahaan. Kinerja aparat hukum dan pemerintah yang lambat dan justru sering membekingi pengusaha hitam juga memperparah keadaan.

Budiman Sudjatmiko dan Totok Daryanto dari DPR RI juga turut memaparkan pandangannya dari aspek regulasi dan politik dalam negeri pengelolaan lingkungan.

Sesi kedua diisi oleh Ketua KPK Busyro Muqoddas, Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran, akademisi FH UGM yang juga pakar hukum lingkungan Totok Dwi Diantoro, serta Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM Syawaluddin Lubis. 

Busyro mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat korupsi sektor ESDM mencapai triliunan rupiah. Menurut para pembicara, hal yang perlu dicermati adalah mengubah sistem kontrak yang menyejajarkan posisi negara dengan korporasi menjadi mekanisme perijinan dengan orientasi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Gerakan publik juga harus melakukan pengawasan terhadap mekanisme formal penegakan hukum yang ada karena hukum kerapkali dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan oknum dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Paguyuban Petani Lahan Pantai yang  memberikan pemaparan terkait kondisi pertambangan pasir besi di Kulonprogo, paralegal dari Blora, Cepu, dan Semarang, serta perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia dan masyarakat umum.

Laporan dari M. M. Gibran Sesunan
Komunitas Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Kampung Antikorupsi: Kampungnya Pemberantas Korupsi

Pekan Raya JUSTISIA 2011

Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia Fakultas Hukum UGM menggelar acara “Kampung Antikorupsi” pada Sabtu (26/11/2011). Acara yang merupakan bagian dari rangkaian bulan antikorupsi Dema Justicia yang bertajuk “JUSTISIA: Junjung Tinggi Semangat Pemberantasan Korupsi di Indonesia” tersebut dihelat di kampus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Kampung Antikorupsi diisi oleh stand-stand lembaga penggiat antikorupsi, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM, LBH Yogyakarta, Pusat Studi HAM UII, hingga LSM yang bergerak di bidang antikorupsi dan lingkungan seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Walhi, Sentra Informasi dan Data untuk Antikorupsi (SIDAK), IDEA, dan Impulse. 

Tema yang diangkat pada bulan antikorupsi ini adalah korupsi di bidang sumber daya alam Indonesia. Acara juga diisi oleh bazaar makanan serta pagelaran seni dan musik yang ditampilkan oleh Badan Semi Otonom fakultas se-UGM.

Lomba-lomba seputar kegiatan pemberantasan korupsi juga dihadirkan dalam Kampung Antikorupsi, contohnya Investigation Roleplay. Lomba ini mengharuskan setiap tim dari sekolah dasar yang berperan sebagai penyidik KPK untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Selain itu, diselenggarakan juga lomba melukis dan pameran foto serta deklarasi antikorupsi juga dibacakan bersama oleh para siswa taman kanak-kanak, sekolah dasar, serta segenap pengunjung yang hadir.

Panitia Kampung Antikorupsi Nabiyla Risfa Izzati mengatakan, acara ini diharap mampu menjadi ikhtiar pemberantasan korupsi, serta dapat mencetak generasi muda antikorupi yang tanggap dan paham terhadap bahaya laten korupsi.

Dalam acara tersebut, tampak hadir antara lain Koordinator ICW J. Danang Widoyoko, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Zainal Arifin Mochtar, serta Guru Besar Hukum Pidana UGM Eddy O.S. Hiariej.

Laporan dari M. M. Gibran Sesunan
Komunitas Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Quo Vadis Pengadilan Tipikor?

Sinisme terhadap keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) kian tajam. Pengadilan yang semula diharapkan mampu menjadi tandem yang menunjang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi kini justru menjadi surga bagi terdakwa koruptor untuk melepaskan diri dari jerat hukum.

Membubarkan Pengadilan Tipikor?

Putusan-putusan bebas dan lepas yang diambil hakim pengadilan tipikor menjadi peringatan dini terhadap perjuangan pemberantasan korupsi. Penanganan korupsi yang seharusnya tajam dari hulu sampai hilir dengan jerat hukum berlapis untuk menjerat koruptor justru digerogoti dari dalam.

Atas dasar itu, sebagian kalangan mengusulkan agar pengadilan tipikor dibubarkan. Namun hal ini perlu dikritisi, jangan sampai wacana tersebut menjadi bumerang dengan semakin leluasanya koruptor di daerah menjalankan aksinya karena ketiadaan pengadilan tipikor.  Bagaimanapun, eksistensi pengadilan tipikor di daerah membuat elemen masyarakat sipil lebih awas menyoroti kinerjanya, yang juga menciptakan sistem pengawasan publik yang lebih dalam.

Akan lebih relevan jika keberadaan pengadilan tipikor dievaluasi mulai dari regulasi, sistem, hingga daya kerjanya. Menyalahkan pengadilan tipikor secara membabi-buta pun tidak tepat karena pengadilan tipikor hanya menjadi subordinasi dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan kerangka besar di bawah kendali Mahkamah Agung. Kebobrokan sistem tentu akan berimbas juga kepada keberadaan pengadilan tipikor. Terlebih lagi, permasalahan pelik dunia peradilan tak hanya ketika berada di tahap pengadilan. Banyak kasus korupsi yang memang menunjukkan bahwa ada upaya sistematis dari aparat penegak hukum  untuk membuat jerat hukum yang rapuh, seperti dakwaan lemah serta barang bukti yang dikaburkan.

Keluhan-keluhan terkait kompetensi hakim, terutama hakim ad hoc, juga menjadi hal yang fundamental untuk pembenahan pengadilan tipikor. Minimnya kompetensi hakim terutama untuk hukum acara dan substansi perkara menjadi tanggung jawab MA untuk mengatasinya. Proses rekrutmen hakim seharusnya juga diserta dengan mekanisme pengembangan kompetensi. Jelas terlihat bahwa MA kewalahan mengurus pengadilan tipikor yang ada di wilayah provinsi di Indonesia.

Kooptasi Regulasi

Kesulitan MA akan diperparah dengan adanya amanat pembentukan pengadilan tipikor di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini menjadi semacam kooptasi regulasi yang kontraproduktif dengan semangat antikorupsi karena akan membuat ketiadaan perbedaan pengadilan konvensional dengan pengadilan tipikor. Padahal, jiwa pembentukan pengadilan tipikor adalah karena bobroknya peradilan umum yang ada sehingga dibutuhkan pengadilan khusus yang fokus menangani perkara korupsi.

Untuk itu, regulasi harus diubah. Regulasi yang ada lebih mencerminkan politik hukum yang tak berpihak pada gerakan antikorupsi. Regulasi yang sarat kepentingan, terutama kepentingan koruptor yang dititipkan melalui suara-suara wakil partai di parlemen. Pemerintah juga bertanggungjawab terkait dengan penganggaran untuk pengadilan tipikor. Pembentukan pengadilan tipikor di 33 provinsi hanya bermodalkan kucuran dana dua setengah miliar rupiah. Bandingkan dengan proses seleksi enam orang hakim agung yang menghabiskan enam miliar rupiah.

Moratorium

Namun langkah paling mungkin yang dapat diambil saat ini adalah dengan moratorium pembentukan pengadilan tipikor di kabupaten/kota. MA harus fokus membenahi  pengadilan tipikor yang ada di 33 provinsi sembari mengevaluasi dan memperkuat keberadaannya. Dengan rekomendasi dari jejaring masyarakat sipil, tentunya MA akan lebih mudah menilai rekam jejak pengadilan tipikor. Hasil evaluasi dapat dijadikan bahan untuk kemudian membubarkan pengadilan tipikor yang berkinerja buruk. Jika perlu, pengadilan tipikor diadakan dengan menggunakan sistem rayon (region). Hal ini akan memudahkan pengawasan dan meminimalisasi sistem, meski harus dibayar dengan semakin luasnya daya jangkau baik pengadilan, penegak hukum, terdakwa kourptor, maupun pencari keadilan.

Tak perlu menunggu langit runtuh untuk menegakkan hukum. Kejahatan luar biasa harus ditindak dengan cara-cara luar biasa pula, sehingga komitmen memberantas korupsi seharusnya diletakkan melebihi norma yang ada. Het recht hinkt achter de feiten aan, hukum selalu terpicang-picang di belakang zaman, apalagi hukum yang ada tak mampu menampung semangat antikorupsi yang menggelora. Quo vadis pengadilan tipikor?


M.M. Gibran Sesunan

Menyoal Kebun Koruptor

Wacana kontroversial kembali dimunculkan dalam diskursus pemberantasan korupsi. Setelah sebelumnya ICW mengusulkan pengadaan baju khusus bagi terpidana kasus korupsi, kali ini Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melontarkan lelucon serius untuk menempatkan koruptor dalam sebuah “kebun koruptor” yang konsepnya sama dengan kebun binatang.

Mudah saja menafsirkan gagasan Mahfud tersebut, bahwa korupsi adalah perilaku di luar batas kemanusiaan sehingga pantas disandingkan dengan binatang. Celakanya, perilaku hewani korupsi selalu ditoleransi di negeri ini, bahkan hukum dijadikan simbol kedermawanan terhadap para koruptor. Remisi, penjara mewah, dan putusan bebas selalu mewarnai perjuangan pemberantasan korupsi.

Korupsi ditindak seolah-olah bukan sebagai kejahatan luar biasa yang mencederai nilai kemanusiaan sehingga masyarakat geram. Bisa jadi, ide gila Mahfud tersebut juga dijiwai kegeramannya terhadap hukum yang tumpul. Membuat malu koruptor menjadi cara alternatif karena mekanisme hukum yang ada tak mampu memberi efek jera. Alih-alih mengembalikan kepada keadaan semula (restitution in integrum), putusan hakim justru acapkali melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

Penolakan terhadap ide-ide alternatif dalam pemberantasan korupsi selalu berlindung di balik hak asasi manusia. Padahal, penegakan hukum hari ini justru melukai hak asasi masyarakat dalam jumlah sangat besar. Jelas bahwa hak asasi koruptor sudah terlalu diistimewakan dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih luas, sehingga sudah seharusnya the jurisprudence of interest (Philipp Heck, 1948) ditegaskan, bahwa hak asasi harus mengutamakan dan mampu melindungi kepentingan masyakat dan negara, apalagi negara yang jelas-jelas menyatakan perang terhadap korupsi.

Fungsi pemidanaan, menurut Wayne R. La Fave dalam Modern Criminal Law,  yaitu sebagai pembalasan, penimbul efek jera, dan perbaikan bagi diri pelaku kini menjadi utopia. Untuk itulah, wacana-wacana terobosan hukum seperti pembentukan “kebun koruptor” di 33 provinsi menjadi ide konyol yang patut dipertimbangkan. Jika tak mampu menembus kerasnya tembok politik dalam proses legislasi, setidaknya “kebun koruptor” mampu menegaskan bahwa koruptor bukanlah pencuri tiga ekor ayam, bahwa koruptor adalah kejahatan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat banyak dan harus dilawan bersama.

Sudah saatnya bangsa ini marah melihat disparitas penegakan hukum di Indonesia. Mengirim koruptor ke dalam “kebun koruptor” dan menjadikannya objek wisata siswa-siswa di Indonesia tentu dapat dijadikan sarana mengambil pelajaran bagi seluruh elemen bangsa agar menjadi generasi antikorupsi. Berhentilah mengasihi koruptor dengan alasan hak asasi manusia yang sudah sangat ditoleransi dengan terpaksa oleh rakyat. Kini berikanlah jaminan hak asasi tersebut terhadap rakyat yang merupakan korban nyata korupsi tanpa toleransi.


M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas  Hukum UGM


Surat Pembaca Lampung Post, 5 Desember 2011
http://lampungpost.com/surat-pembaca/17590-menyoal-kebun-koruptor.html