Jumat, 20 Januari 2012

Antara Mencuri Sandal dan Korupsi


Hanya ada satu macam dosa. Hanya satu, yaitu mencuri. Dosa-dosa lain adalah variasi dari dosa itu… Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri. Demikianlah penggalan percakapan antara Baba dengan Amir dalam novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini (2003). Prinsipnya, mencuri adalah sumber dari segala keburukan.

Kondisi bangsa hari ini menjadi bukti sahih betapa dahsyatnya dampak mencuri. Mudah saja menafsirkan “mencuri” dalam bahasa Indonesia yang paling umum: mengambil yang bukan haknya. Meski pada akhirnya bahasa hukum memetakan tindakan “mencuri” ke dalam beberapa rumusan pasal. Mencuri sandal, kakao, dan semangka masuk dalam delik pencurian yang diatur dalam pasal 362-367 KUHP, sementara mencuri uang negara distempel dengan tindak pidana korupsi dan diancam sesuai dengan ketentuan UU 31/1999 jo UU 20/2001. Kita semua tahu perbedaan mendasar keduanya sehingga “mencuri” perlu diatur dengan cara yang berbeda.

Berbagai kegaduhan penegakan hukum ternyata “hanya” mampu menempatkan Indonesia pada urutan 100 negara terbersih dari korupsi menurut survei Transparency International dengan indeks persepsi 3.00 dari indeksi tertinggi 10. Meski terdapat kenaikan dan patut diapresiasi, tentunya hasil tersebut tidak cukup sebanding dengan hiruk-pikuk negara yang segenap pemimpin, birokrat, dan aparat hukumnya menyatakan diri sebagai garda depan pemberantasan korupsi.

Celakanya, penegak hukum seperti tidak bisa membedakan makna “mencuri” yang telah disepakati tak sama. Kegagalan menempatkan prioritas adalah gambaran bobroknya daya serap dan daya tangkap aparat dalam memaknai suatu tindak pidana. Rekening gendut jenderal polisi dan pemukulan aktivis antikorupsi tak pernah selesai kasusnya sampai hari ini, serta berbagai vonis bebas bagi terdakwa korupsi bak jamur di musim hujan, sementara AAL si bocah pencuri sandal dinyatakan bersalah meski banyak keganjilan dalam perkaranya. Hal tersebut melengkapi kasus-kasus serupa yang menjustifikasi bahwa hukum bukan untuk mereka yang lemah.

Atau jangan-jangan pemaknaan korupsi hari ini diartikan tidak lebih buruk daripada tindakan AAL si pencuri sandal, sehingga tidak perlu dilakukan penanganan yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya? Atau bahasa hukum memang terlalu rumit menafsirkan korupsi yang “hanya mencuri” itu? Atau memang materi telah membungkus keadilan dengan  sesuatu yang lain? Jika hukum memang tak mampu memberikan jawaban, lantas tinggallah bangsa ini menunggu hadiah dari Tuhan, meski hadiah itu tak akan pernah hadir jika tak diperjuangkan. Dicarilah mereka, atau kita: pejuang itu.


M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar