Kamis, 27 Januari 2011

Satgas dan Politisasi Pemberantasan Mafia

Vonis tujuh tahun penjara dan denda tiga ratus juta rupiah ternyata belum menjadi titik terang bagi penyelesaian kasus mafia hukum dan perpajakan yang didalangi oleh Gayus Tambunan sebagai aktor utamanya. Bak gayung bersambut tak berkesudahan, Gayus kembali membuat pernyataan pascasidang yang menyatakan tuduhan-tuduhannya kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memainkan kasusnya dan menyeretnya ke dalam dimensi politik.


Dimensi Politik

Adanya faktor-faktor nonhukum yang ikut menyemarakkan kasus Gayus memang sangat mungkin keberadaannya. Sudah menjadi rahasia umum, Gayus memiliki klien 151 perusahaan yang diduga ikut membocorkan uang negara, yang tiga diantaranya di bawah kuasa Aburizal Bakrie. Dari situ, wajar jika kasus ini sangat berpotensi dipolitisasi, terlebih lagi kasus Century masih menjadi kartu as yang dipegang Bakrie atas “dosa” pemerintah. Disebut kartu as karena kasus Century membuat Presiden kelimpungan. Pembentukan Setgab Koalisi dan hengkangnya Sri Mulyani adalah contoh implikasi pengaruh kartu as yang dipegang Aburizal dan Golkar ini.


Menjadi semakin riuh karena Satgas PMH juga mengambil porsi sangat besar dalam proses penyelesaian kasus Gayus. Keberadaan institusi yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2009 ini, jika ditilik dari pernyataan kontroversial Gayus, menjadi kepanjangan tangan Presiden untuk mengintervensi proses hukum yang berjalan, dan memaksa mengarahkan kasus ini agar juga menyeret dan merusak citra Bakrie. Analisisnya jika memang pernyataan Gayus benar, kasus ini akan dijadikan ‘alat penyeimbang” kasus Century.

Para politisi tak mau ketinggalan. Beberapa anggota partai politik juga sejak awal, dan makin menjadi-jadi bermanuver mengecam dan memprotes keberadaan Satgas. Semakin ramai saja kasus Gayus ini dengan keberadaan politisi, tuduhan politisasi, dan macam-macamnya.

Proyeksi


Satgas PMH telah mengklarifikasi dan membantah seluruh pernyataan Gayus. Pemanggilan Satgas oleh Presiden juga berkesimpulan bahwa Presiden tetap memberikan kepercayaan penuh terhadap lembaga bentukannya yang bertugas menjadi katalisator pemberantasan mafia hukum ini. Bagaimanapun, keberadaan Satgas haruslah diapresiasi dan terus didukung, selama Satgas bekerja di jalurnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, meski pembentuknya adalah Presiden dan bekerja di bawah dan bertanggungawab langsung kepada Presiden.

Tuduhan Gayus terhadap Satgas haruslah dibuktikan oleh institusi terkait, jika perlu, dilakukan upaya hukum agar semua terang dan jelas. Tak perlulah saling menuding, biar fakta yang bicara, dan masyarakat pun sudah bisa menilai siapa yang lebih dapat dipercaya. Jika Satgas ternyata tidak imparsial dan justru menjadi alat untuk merecoki dan mengintervensi, tentu kita sepakat Satgas inkonstitusional dan harus dibubarkan. Tapi semua harus dibuktikan karena Gayus dalam pernyataannya hanya menuduh tanpa memberi bukti. Jangan sampai pernyataan kontroversial Gayus dan riuh-ramai para politisi malah membuat kabur persoalan utama yakni mengusut tuntas para mafia.

Perlu kita ingat, Daniel S. Lev mendefinisikan mafia sebagai sistem kerja yang menguntungkan semua anggotanya. Sifatnya masif, sistematis, dan terstruktur sehingga sangat mungkin riuh-ramai menuntut pembubaran Satgas juga didalangi oleh para mafia yang berusaha saling melindungi kroninya. Menyerang Satgas secara membabi-buta dan justru tidak mengindahkan penyelesaian kasus ini bisa jadi indikasi awal. Ini adalah simbol ketakutan akan kehadiran Satgas, dan prakondisi menunjukkan adanya gerakan politik yang ingin mengebiri pemberantas korupsi dan mafia.

Membubarkan Satgas bukan solusi, terbukti dari statistik banyaknya laporan yang diadukan kepada Satgas adalah cerminan bahwa masyarakat memang butuh tempat baru untuk menitipkan kepercayaannya terhadap hukum negeri ini, dan Satgas cukup menjadi jawabannya. Yang jelas, Satgas harus pandai menempatkan diri karena asa pemberantasan mafia diletakkan di pundaknya. Buktikan bahwa Satgas bukan lembaga penerima pesanan politik berkedok pemberantasan mafia. Dan membubarkan Satgas adalah memberikan kemenangan kesekian kalinya kepada para mafioso.



M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM


*Dimuat di Harian Lampung Post, 27 Januari 2011
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011012702160961

Sabtu, 22 Januari 2011

Teriak Antikorupsi tapi Memperkuat Oligarki?

Korupsi dan Oligarki, bagaimanapun bersaudara nyaris kandung.. Petuah simpel dari Lord Acton "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" jadi cikal-bakal semuanya..
Oligarki jadi benih absolutisme, absolutisme melahirkan kesewenang-wenangan.. Korupsi bermula dari sini......




Ada fenomena yang patut kita cermati bersama dalam proses demokratisasi di daerah-daerah di Indonesia yang terjadi pascareformasi, yakni semakin tumbuh-suburnya politik dinasti yang menempatkan hubungan kekerabatan pejabat sebagai faktor utama dalam suksesi kepemimpinan.


Contoh saja di Sulawesi Selatan, adik-adik serta anak Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menduduki posisi bupati, anggota DPR, dan DPRD. Hal demikian juga terjadi di Banten, yang mana suami, anak, menantu, dan saudara Gubernur Ratu Atut Chosiyah ikut berada dalam lingkar kekuasaan.


Paradoks Demokrasi




Pada dasarnya, hal demikian bukanlah sesuatu yang dilarang dalam kehidupan berdemokrasi. Semua orang, tak peduli kerabat pejabat atau bukan, memiliki hak politik yang sama untuk ikut serta dan dipilih dalam pesta demokrasi bertajuk pemilihan umum. Namun, fenomena ini tentunya tidak sehat dalam perkembangan demokrasi kita. Inilah paradoks demokrasi, di satu sisi tidak dilarang, tapi di sisi lain tidak patut dan etis rasanya karena rawan menciptakan oligarki.


David Brown (1996) memperkenalkan istilah neo-patrimoneal state untuk menggambarkan pola relasi kekuasaan seperti yang terjadi dalam demokrasi kita, yakni adanya hubungan patron-klien antara penguasa dengan elite-elite di sekitarnya. Di masa Orde Baru, hal ini marak terjadi, meski masih sentralistik, dengan menempatkan rezim Soeharto sebagai patronasi politik, dan orang-orang dekatnya menjadi klien yang diberi kekuasaan sehingga wajar saja marak terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kini pascareformasi, hal demikian juga tumbuh subur di banyak daerah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah.


Jaringan kekuasaan tersebut dapat membentuk oligarki dan menimbulkan rezim absolut yang kekuasaannya sulit dikontrol. Mengutip Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Akan sulit rasanya mengontrol pejabat atau penguasa jika kutub-kutub kekuasaan yang seharusnya menerapkan prinsip check and balances diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan erat.


Masalah lain yang muncul adalah suksesi kepemimpinan tidak berdasarkan pada profesionalitas dan kapabilitas, melainkan tertumpu pada hubungan darah dengan pejabat terkait untuk mendompleng nama besarnya, entah mampu atau tidak. Demokrasi seperti ini menggambarkan demokrasi yang semu, seolah-olah demokrasi padahal implementasinya tak berbeda dengan sistem kerajaan-kerajaan di zaman dahulu kala.
Yang dapat kekuasaan adalah mereka yang memiliki akses ke kekuasaan itu, dan dengan sistem pemilu suara terbanyak seperti yang dianut sekarang, masalah modal (kebanyakan) menjadi kunci dalam meraih kekuasaan. Demokrasi sebagai sarana menuju negara kesejahteraan akan mengalami kebuntuan karena kehilangan roh persaingan yang sehat dan adil bagi setiap warganegara.




Ketiadaan profesionalitas dan pengawasan yang cukup dapat menjalar ke penyakit-penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan ketidaknetralan birokrasi. Hal ini terbukti dalam Pilkada Tangerang Selatan yang diikuti adik dari Gubernur Banten sebagai calon bupati, banyak birokrat yang terbukti terlibat politik praktis dengan mengarahkan pegawai negeri mendukung sang adik gubernur itu. Birokrasi menjadi lemah lesu dan pelayanan masyarakat akan terganggu.


Konsepsi Negara Hukum


Untuk mengatasinya, kita sebagai konstituen haruslah kembali pada idealita konsepsi negara hukum yang telah kita pilih, bahwa tak ada kekuasaan yang tak terbatas, dan upaya-upaya yang mengarah ke situ harus kita minimalisasi sedemikian rupa. Tidak adanya larangan dalam peraturan hukum bukan berarti hal itu diperbolehkan. Tak pernah ada larangan seseorang tidak boleh berbicara kasar, atau buang air di pojok kelas, tetapi etika dan kepatutanlah yang kemudian menjadi batasan.


Masyarakat yang berhak memilih harus benar-benar tau kapasitas dan kapabilitas calonnya sehingga legitimasi rakyat yang didapat melalui pemilu kemudian bisa diemban dengan baik dan tidak disalahgunakan.
Penguasa juga sepantasnyalah sadar bahwa etika dan kepatutan masih dipakai dalam kehidupan berdemokrasi. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah tidak mengizinkan kerabatnya ikut dalam Pilkada Bantul, dengan alasan tidak etis. Seperti inilah kedewasaan dan kesadaran demokrasi yang perlu ditumbuhkan. Kepemimpinan adalah soal keteladanan.


Sekali lagi, tak ada larangan, terlebih jika kekerabatan disertai dengan kemampuan. Tapi, perlu dipikirkan secara menyeluruh dampak-dampak yang mungkin timbul seperti adanya konflik kepentingan, dsb. Bagaimana dengan demokrasi di Lampung? Biar publik yang menilai, semoga kita selalu berada di jalan yang benar dalam mengarungi demokrasi.





M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

*Dimuat di Harian Lampung Post, 18 Januari 2011
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011011801370570