Kamis, 09 September 2010

Kelakuan Wakil Rakyat



Kabar tak sedap belum juga beranjak dari kediaman para wakil rakyat yang terhormat. Pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) senilai lebih dari Rp1,6 triliun menjadi sebab. Tentunya uang sebanyak itu berasal kantong rakyat. Makin mencengangkan karena nantinya terdapat fasilitas spa dan kolam renang berkedok fasilitas kebugaran anggota Dewan di situ.


Berbagai pembenaran tak masuk akal juga kian muncul. Seperti dari anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Michael Wattimena, yang menyatakan kolam renang dibuat juga untuk memudahkan tindakan apabila terjadi kebakaran. Michael juga menyatakan gedung parlemen Indonesia kotor dan tidak terawat jika dibandingkan gedung palemen negara lain. Pernyataan konyol yang datang dari ruang wakil rakyat.



Tidak Peka


Pernyataan salah seorang anggota BURT itu memang menjadi ironi. Akan lebih penting dan bermanfaat jika anggota Dewan membandingkan kinerja dengan parlemen negara lain, bukan malah menyandingkan urusan bersih-kotor dan perawatan. Bukan hanya bersih-kotor gedung, tetapi juga “bersih-kotor” pribadi isi gedung menjadi kewajiban anggota Dewan untuk menjaganya.



Kebijakan pembangunan gedung baru ini menunjukkan sikap anggota Dewan yang tidak peka terhadap kondisi bangsa. Peningkatan fasilitas kantor lebih penting daripada urusan genting yang ada. Lihatlah masalah Century yang tenggelam, diplomasi lunak terhadap Malaysia, ledakan elpiji di mana-mana, seolah luput dari perhatian. Wajar seorang Pong Harjatmo kemudian geram dan mencoret-coret gedung parlemen. Tindakan vandalisme memang tidak baik, tapi esensi yang dilakukan Pong sangatlah mengena untuk manusia-manusia berakal dan bernurani.



Akan sangat bermanfaat jika uang sebanyak itu dialihkan untuk peningkatan pendidikan atau kebutuhan publik lainnya. Berapa banyak gedung sekolah yang bisa dibangun atau diperbaiki dengan uang begitu banyak. Dari statistik Kementerian Pendidikan Nasional, tak kurang 160 ribu gedung sekolah yang rusak di seluruh Indonesia butuh segera diperbaiki. Juga untuk program pengentasan kemiskinan, atau mengamankan tabung gas yang semakin sering meledak bersahut-sahutan.



Pembuktian



Rakyat Indonesia butuh pembuktian kinerja DPR sebelum para legislator meminta macam-macam menggunakan uang rakyat. Jika DPR memaksakan diri, sedangkan masyarakat luas menolak dan mengecam, semakin menunjukkan DPR bukanlah lembaga pembawa aspirasi rakyat, melainkan aspirasi partai, lebih parah lagi, ambisi pribadi.



Alasan lain pembangunan gedung adalah untuk meningkatkan kinerja. Tak ada jaminan penambahan fasilitas kemudian berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kerja anggota DPR. Ini menyangkut masalah mental. Lihat saja di Kementerian Keuangan yang menjadi pilot project reformasi birokrasi, remunerasi tak bisa menghalau munculnya orang-orang macam Gayus Tambunan. Apalagi di DPR, tempat yang sudah sering kita dengar dijadikan sarang nyaman bagi penyamun berdasi.



Sudah menjadi rahasia umum betapa banyak para wakil rakyat kemudian terbukti terlibat korupsi. Bahkan terakhir, KPK telah menetapkan 26 politisi dari gedung parlemen, baik periode sekarang atau sebelumnya, sebagai tersangka kasus cek pelawat pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004 silam. Bukankah segala macam tunjangan jabatan dan fasilitas nomor wahid sudah ada pada diri setiap anggota DPR? Lalu apa lagi?



Dengan yang sekarang saja sangat sulit mendatangkan para anggota Dewan untuk ikut rapat-rapat, yang pastinya selalu penting membahas nasib bangsa ke depan, apalagi jika ada fasilitas kebugaran. Akan makin sepi saja sepertinya kelak ruang sidang yang demikian besar itu, ditinggalkan penghuninya ke lantai atas yang merupakan ruang pelesiran.




Lebih baik DPR membuktikan kinerja dan kesuksesannya terlebih dahulu, bukan malah merontokkan citranya yang sudah buruk di mata masyarakat dengan berbagai kebijakan tidak prorakyat. Kemiskinan yang merajalela harusnya cukup bisa menggugah, menggurah, dan menggugat hati nurani siapa pun yang masih waras.



Jangan sampai ulah anggota Dewan semakin menjustifikasi sebuah sarkasme: 65 tahun Indonesia merdeka, tapi yang merdeka hanyalah wakil rakyat, sementara rakyatnya (masih) terus merana. Wakil rakyat makmur, rakyatnya terkubur. Wakil rakyat sebagai penampung aspirasi masyarakat akan dinilai melalui pembangunan gedung ini. Jika keluh-kesah rakyat sudah tak didengar, buat apa ada Dewan Perwakilan Rakyat (yang seperti ini)?


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Artikel ini dimuat di Harian Lampung Post, edisi Senin 6 September 2010
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010090607292755

2 komentar: