Kudeta militer terhadap
pemerintahan Presiden Mohammed Mursi di Mesir membuat dunia terhenyak. Mursi
adalah presiden yang dipilih secara sah melalui pemilu yang demokratis setelah
sebelumnya negara ini dipimpin oleh penguasa otoriter yang akhirnya runtuh.
Penggulingan kekuasaan di Mesir seolah menjadi hal yang lumrah dan “dibenarkan”
dengan tindakan pemimpin militer, didukung politisi oposisi, dan dimobilisasi
oleh sebagian massa.
Kudeta terhadap Mursi
adalah kudeta terhadap demokrasi. Terlepas dari pertarungan ideologi yang keras
terjadi antara gerakan Ikhwanul Muslimin dengan pihak oposisi maupun
ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan, kudeta semacam ini adalah
hal yang tidak dapat dibenarkan. Jika dibiarkan, maka selanjutnya akan muncul
preseden bahwa apabila oposisi atau rakyat tidak puas, maka tinggal jatuhkan
saja pemerintahannya melalui kudeta. Tak ada lagi dialektika dan diskursus
dalam mengelola negara. Hal ini tentu bukan saja menjadi ancaman bagi Mesir
semata, tetapi juga ancaman bagi seluruh negara yang mengakui dirinya sebagai
negara demokratis serta akan menurunkan derajat dan hakekat berdemokrasi.
Peristiwa ini menjadi
luka sejarah yang harus dibayar mahal dalam pelaksanaan asas kedaulatan rakyat.
Selain memberangus legitimasi dari rakyat melalui pemilu, kerusuhan dan perang
saudara yang menimbulkan korban jiwa adalah harga yang tak tertawarkan. Selain itu,
perlu dicatat pula bahwa Mesir sedang dalam masa transisi dari sebuah era yang
sangat otoriter di masa rezim Hosni Mubarak menuju era demokrasi dan
keterbukaan. Upaya rekonsiliasi nasional yang menjadi impian rakyat akan buyar
dan harus berulang lagi dari nol.
Penggulingan kekuasaan
di Mesir juga menjadi citra buruknya sistem ketatanegaraan di sana. Pertama, peristiwa tersebut menunjukkan
buruknya sistem ketatanegaraan yang ada sehingga menciptakan instabilitas
politik. Konstitusi ternyata dapat dilanggar seenak hati sehingga yang terjadi
bukan saja demokrasi prosedural tanpa substansi tetapi juga ketiadaan demokrasi
itu sendiri. Kedaulatan rakyat harus selalu dibarengi dengan kedaulatan hukum
agar kehidupan ketatanegaraan senantiasa bertujuan untuk menegakkan sebuah
negara hukum yang demokratis (democratische
rechtstaat) dan demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Kedua,
tergulingnya
Mursi menunjukkan rendahnya kesadaran bahwa pemilu seharusnya menjadi upaya
untuk mengalihkan pemerintahan secara damai. Regenerasi kepemimpinan yang sah
harus melalui mekanisme pemilu, dan pihak-pihak yang ingin duduk dalam
kekuasaan pemerintahan harus bertarung melalui pemilu yang demokratis.
Ketiga,
peristiwa
ini membuktikan ketidakmapanan kanal aspirasi masyarakat dan mekanisme check and balance antarlembaga pemegang
kekuasaan di Mesir. Ketidakpuasan harus dilembagakan dan dijalankan oleh
seluruh lapisan agar kehidupan ketatanegaraan yang dinamis tidak tersendat atau
dimampatkan baik oleh penguasa, oleh sistem, amupun oleh kekacauan faktual.
Keempat,
rezim
militer terlalu nyaman dengan kekuasaannya di masa lalu sehingga tidak siap
menghadapi gelombang demokratisasi yang hadir pasca Musim Semi Arab (Arab Springs). Militer menggunakan
otoritasnya secara sewenang-wenang.
Jangan sampai hasrat
berkuasa justru membawa kepada petaka yang akhirnya ditanggung oleh seluruh
warganegara. Saluran konstitusional untuk bersuara harus dibuka lebar oleh
penguasa dan dimanfaatkan secara konstitusional pula oleh masyarakat sehingga
tatanan kehidupan dapat terus diperbaiki dan disempurnakan.
Jika suatu negeri
terus-menerus dilanda “revolusi” yang berkepanjangan tanpa henti, maka rusaklah
instrumen demokrasi dan negeri tersebut akan selalu memulai dari nol
pembangunan bangsanya baik dari segi politik, sosial, ekonomi, dan aspek
penting lainnya. Semua kita adalah penjaga demokrasi, dan kita harus senantiasa
waspada agar hal-hal seperti di Mesir terjadi di iklim demokrasi kita.
M. M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar