Publik lagi-lagi
terhenyak menyaksikan adanya advokat yang terjerat kasus korupsi. Adalah
advokat berinisial MCB yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam sebuah operasi tangkap tangan karena diduga menyuap seorang pegawai
Mahkamah Agung (MA).
Kita tentu masih ingat
ketika beberapa waktu lalu Haposan Hutagalung ikut terjaring dalam sindikat
besar mafia hukum Gayus Tambunan, juga Harini Wijoso yang tersandung kasus suap
untuk memuluskan kasus Probosutedjo, serta Adner Sirait yang juga tertangkap
tangan ketika menyuap hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kesemuanya
adalah pengacara hitam yang mencoreng citra korps advokat sebagai penegak
hukum.
Tentunya para pengacara
hitam tersebut hanyalah segelintir oknum. Masih banyak advokat-advokat yang
dapat menjadi teladan sebagai macan pengadilan yang berjuang mencari keadilan
berlandaskan kejujuran dan semangat antikorupsi. Banyak pula pembela umum yang
bekerja secara cuma-cuma (pro bono) tanpa
menomorsatukan materi finansial demi membela kepentingan hukum orang-orang yang
tidak mampu dan terpinggirkan.
Oleh sebab itu, penting
bagi para advokat untuk berkonsolidasi agar harga diri dan kehormatan profesi
advokat sebagai profesi mulia lagi terhormat (officium nobile) dapat terjaga. Jangan sampai muncul kesan di
masyarakat, apabila mendengar kata “advokat” atau “pengacara” maka yang muncul
di benak publik adalah hal-hal yang berbau kecurangan dan dunia hitam mafia
hukum.
Solidaritas korps (esprit de corps) harus dibangun secara
positif untuk membersihkan organisasi profesi dari advokat korup. Maka, peran
organisasi advokat dalam menegakkan Kode Etik Advokat Indonesia secara
sungguh-sungguh menjadi kunci pembenahan bagi profesi advokat untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada advokat sebagai penegak hukum.
Dalam kasus-kasus mafia
hukum yang melibatkan advokat, Dewan Kehormatan Advokat selain harus memeriksa
tersangka dalam pengadilan etik, juga sepatutnya memeriksa rekan sejawat
advokat yang bersangkutan untuk membuktikan apakah perbuatan tersangka
dilakukan secara sistematis dan terstruktur, contohnya apakah terdapat komando
untuk menggunakan cara-cara melawan hukum dari firma hukum tempatnya bekerja
selama menjalankan tugasnya. Kemungkinan seperti ini yang harus diusut tuntas
dan mengakar agar memberikan efek jera bagi para advokat. Ini juga sebagai
bentuk pengajaran kepada advokat-advokat muda agar tidak terjerembab ke dalam
dunia hitam karena dijadikan umpan segar sebagai pelaksana teknis praktik
curang, karena advokat-advokat muda ini dapat dikorbankan oleh atasannya
sebagai tameng pelindung.
Advokat juga harus
mengajarkan masyarakat cara menegakkan hukum tanpa melakukan penistaan terhadap
hukum itu sendiri. Advokat yang berperilaku korup sedikit banyak juga
dikarenakan adanya permintaan klien yang menghalalkan segala cara untuk
memuluskan kepentingannya. Maka, dua pihak ini sama-sama perlu mengedukasi
dirinya untuk mencegah menjamurnya mafia peradilan.
Hukum bukanlah soal
menang atau kalah. Jangan sampai hukum yang ditegakkan kian jauh dari kepastian
hukum, kemanfaatan, dan keadilan sebagai jiwa hukum. Penegakan hukum yang
direkayasa tidak akan pernah bisa
mewujudkan tujuan hukum yaitu untuk memulihkan keadaan sebagaimana mestinya (restitutio in integrum). Kita menantikan
advokat yang seberani Mr. Iskaq dan Mr. Sastromoeljono kala membela Bung Karno
di pengadilan kolonial Landraad, secerdas Mr. Yamin dan Soepomo dalam menata
Indonesia yang baru merdeka, dan seteguh Yap Thiam Hien dalam membela hak-hak
warganegara yang dikebiri penguasa. Kita menunggu.
M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini dimuat di Harian Lampung Post, 30 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar