Kamis, 28 Oktober 2010

Irasionalitas DPR

Pemberantasan korupsi masih menjadi isu yang mendapat banyak catatan selama ini. Tentu saja institusi yang juga menjadi perhatian masyarakat ketika melihat korupsi yang kian marak yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Setelah upaya-upaya sistematis melemahkan KPK datang silih berganti, beberapa waktu silam mulai ada secercah titik terang untuk menyelamatkan KPK, yakni dengan terpilihnya Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas sebagai calon pimpinan yang diajukan pemerintah ke DPR untuk kemudian dipilih satu nama.


Ternyata, indikasi-indikasi pelemahan tak berhenti sampai di situ. Proses pemilihan satu pimpinan KPK ternyata mendapat ganjalan keras dari parlemen. Sampai saat ini DPR masih belum menyepakati masa kerja pimpinan terpilih. DPR menghendaki satu tahun, sedangkan pansel (panitia seleksi) dan banyak masyarakat menghendaki empat tahun. Perdebatan ini yang membuat proses pemilihan mengambang dan mandek.


Irasionalitas DPR

Hulu perdebatan bermula dari adanya asumsi masing-masing pihak mengenai pemilihan pimpinan lembaga superbodi yang sedang gopoh ini. Pansel berpandangan idealnya pimpinan baru mendapat masa jabatan empat tahun sesuai dengan Undang-Undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, Komisi III DPR menilai masa jabatan pimpinan terpilih yakni satu tahun, dengan alasan yang terpilih nantinya hanya menggantikan dan meneruskan masa jabatan dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar.


Dalam UU KPK memang tidak diatur secara eksplisit tentang masa jabatan dalam hal terjadi pergantian pimpinan di tengah jalan. UU hanya menyatakan masa kerja pimpinan KPK yaitu empat tahun. Jika diamati dengan tafsiran bebas, tentunya pendapat masing-masing pihak yang belum mencapai titik temu ini keduanya benar. Namun, jika ditilik dari aspek kemanfaatan, tentunya pendapat DPR menjadi irasional.


Disebut demikian karena sangat disayangkan jika calon pimpinan yang telah dipilih pansel dengan menghabiskan anggaran dua setengah miliar rupiah hanya diberikan masa jabatan setahun saja. Terlalu mahal dan tidak efisien. Padahal, tak ada ruginya jika memberikan masa empat tahun.


Selain memberi waktu lebih banyak bagi pimpinan terpilih untuk membuktikan tajinya, juga sekaligus menjadi acuan KPK untuk mulai menerapkan trigger mechanism dalam pergantian pimpinan, yakni pimpinan tidak diganti dalam waktu bersamaan. Mekanisme ini sudah lebih dahulu diterapkan di banyak negara, seperti Amerika Serikat. Keuntungannya yakni lebih menjamin keberlanjutan kinerja institusi serta mempercepat adaptasi pimpinan baru.


Kekuatan Rakyat

Perdebatan tak berkesudahan tentunya akan merugikan KPK secara kelembagaan dan lebih luas lagi masyarakat dan negara. Karena, satu pos pimpinan yang kosong tak kunjung terisi dan posisi dua pimpinan lainnya, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, sedang kembali bergejolak seiring ditolaknya peninjauan kembali SKPP Kejaksaan oleh Mahkamah Agung sehingga perkaranya harus masuk pengadilan.


Terlebih, pro-kontra ini terkesan untuk mengulur waktu yang bisa saja dijadikan ajang partai politik di parlemen untuk berkonstelasi memulai kembali politik transaksional dagang sapinya. Yang lebih dikhawatirkan yakni jika parlemen menjadi tunggangan para koruptor dan mafia yang ketar-ketir dengan masuknya salah seorang dari dua nama yang sudah tak asing lagi ketajaman dan kegarangannya dalam dunia hukum.


Kita patut mengapresiasi kinerja pansel yang berhasil memilih dua putra terbaik bangsa sebagai calon pimpinan KPK. Tak ada yang meragukan kapasitas dan integritas kedua calon, Bambang dan Busyro, dan sekaranglah saatnya rakyat Indonesia menunjukkan supremasinya untuk terus berusaha memberikan pertimbangan. Dengan kata lain, merasionalisasi pendapat parlemen.


Peran masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk menjadi katalisator pendorong komitmen para anggota Dewan—yang katanya wakil rakyat—untuk mendengar suara rakyat.


Meski berwenang menentukan masa jabatan pimpinan KPK yang baru, DPR sepantasnyalah rasional dalam mengambil keputusan serta mendengar aspirasi-aspirasi yang muncul di masyarakat untuk memberi empat tahun masa jabatan pimpinan KPK. Jangan sampai para wakil rakyat terjebak logika formalistik dengan mengatakan pimpinan KPK yang baru hanya untuk meneruskan pendahulunya, Antasari Azhar, sehingga memaksakan masa jabatan setahun saja.


Semoga wakil rakyat terketuk nuraninya agar berhenti menghamburkan uang negara untuk hal-hal yang bisa dilakukan secara lebih efisien dan bermanfaat. Semoga.


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM


*Dimuat di Harian Lampung Post, edisi Senin 25 Oktober 2010

2 komentar:

  1. nice posting
    semoga anggota DPR ybs membaca postingan anda. Kalau dipikir ada benarnya juga, apalah ruginya mereka kalau meloloskan agar masa jabatan ketua KPK menjadi empat tahun, toh justru akan menjadi efisien dalam budget daripada repot-repot memilih lagi nanti.

    salam perubahan.

    BalasHapus
  2. karena kalau dgn masa jabatan yg hanya setahun saja, berarti akan jadi seleksi pejabat publik termahal sepanjang sejarah. gak efisien, rasio setahun itu juga gak jelas..

    BalasHapus