Rabu, 25 Mei 2011

Kebangkitan Otonomi atau Kebangkrutan Daerah?




Penyelenggaraan otonomi daerah kembali terganjal problematika serius. Kali ini, keberlangsungan beberapa daerah otonom terancam karena diterpa masalah finansial, yakni ketidakmampuan daerah  memenuhi kebutuhan anggarannya sehingga terancam defisit anggaran besar-besaran. Bahkan menurut riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), setidaknya ada 42 daerah otonom yang kini berada di ambang kebangkrutan. Hal itu terbaca dari buruknya postur dan pengelolaan APBD.

Buruknya pengelolaan APBD dapat dilihat dari gemuknya anggaran belanja yang tak sepadan dengan pendapatan daerah. Anggaran yang besar ternyata tak dibarengi dengan konsepsi yang ketat dalam implementasi birokrasi.


Kebangkrutan Daerah

Semua permasalahan rumit mengenai kondisi keuangan daerah berawal dari buruknya perumusan APBD. Seperti di Aceh, pembahasan RAPBD yang akan diajukan ke pemerintah pusat terkatung-katung tanpa kejelasan. Setelah sekian lama menunggu pengesahan, ternyata masih terjadi defisit sebesar hampir 900 milyar rupiah. Kasus Aceh hanya menjadi sekelumit bagian dari buruknya sistem pengelolaan keuangan daerah otonom.

Daerah, terutama yang masih baru menyandang status daerah otonom, ternyata masih kewalahan dalam menghimpun pendapatan asli daerah (PAD) untuk dijadikan sumber pemasukan. Penyerapan PAD masih sangat minim karena pemda tidak mampu menggali potensi daerahnya. Bahkan dalam kasus pemekaran daerah, beberapa daerah memang nyata-nyata tidak memiliki modal dan potensi ekonomi yang kuat sehingga masih menggunakan dana bantuan pusat dan daerah induknya.

Banyak daerah yang PAD-nya minim. Untuk mencukupi belanja pegawai dan kebutuhan aparatur saja tidak cukup, apalagi untuk program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dikarenakan sumber PAD yang setiap tahun tak berubah sementara anggaran belanja selalu bertambah, daerah justru hanya mengandalkan dana perimbangan dari Pusat. Celakanya, menurut data Fitra, dana perimbangan dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) di 42 daerah tak lagi mencukupi untuk menutup keperluannya. Ketergantungan daerah terhadap Pusat menimbulkan kemanjaan yang emmbuat daerah malas mencari pendapatannya sendiri.

Memang beberapa daerah menyiasati hal tersebut dengan membuka lahan lain dalam mencari pendapatan. Kebanyakan menggunakan Perda di sektor investasi dan perpajakan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas daerah. Tapi masalahnya, banyak Perda tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga banyak yang kemudian dicabut Pemerintah.

Dalam pertanggungjawaban penggunaan anggaran, daerah masih menganggap hal demikian hanya formalitas belaka. Belum lama ini, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo marah besar dan menyobek Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan mengembalikan berkas ke satuan kerja karena laporan yang diserahkan hanya menjiplak laporan tahun-tahun sebelumnya. Teknis kelembagaan sangat buruk, namun belum banyak kepala daerah yang tegas mengusutnya, karena tidak mau, tidak tahu, atau  tidak mau tahu karena  terselubung kepentingan di dalamnya.

Peningkatan anggaran juga tak disertai dengan peningkatan pengawasan terhadap penggunaannya. Menurut data Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, sepanjang tahun 2009, APBD menjadi salah satu lahan subur korupsi di daerah. Minimnya pengawasan membuat kejanggalan APBD dibiarkan, dan penyimpangan dihalalkan oleh pejabat daerah. Dan semakin defisitlah anggaran daerah.


Reward and Punishment

Data dan fakta di atas tentu menjadi sinyal peringatan bagi Pemerintah Pusat untuk segera mengevaluasi keuangan daerah otonom agar daerah tak mengalami kebangkrutan. Pemerintah harus tegas memberi sanksi bagi daerah yang keuangannya selalu buruk meski telah dipacu dengan berbagai bantuan dari Pusat. Misalnya, dengan ancaman pengurangan dana perimbangan jika laporan pertanggungjawabannya selalu disclaimer. Hal ini untuk memacu daerah agar lebih taat asas akuntabilitas dan tertib anggaran. Atau dengan memberikan bonus dana bagi daerah yang berhasil mendapatkan PAD sejumlah tertentu guna memotivasi daerah mengembangkan potensinya.

Kejanggalan dalam APBD juga harus dimonitor oleh wakil rakyat di DPRD, dan tentunya rakyat sendiri, karena tak jarang deal-deal politik legislatif-eksekutif justru melenggangkan dana-dana siluman tersebut. Penyalahgunaan anggaran harus ditindak tegas, dan harapan bisa dititipkan kepada penegak hukum dan Pengadilan Tipikor yang ada di daerah. Karena jika dibiarkan, rakyatlah yang dirugikan, dan perlu disadari bahwa kebangkrutan daerah adalah cikal-bakal kebangkrutan nasional.


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM