Sabtu, 11 September 2010

Lebih Dekat dengan M.M. Gibran Sesunan

tak kenal maka ta'aruf :)




M.M. Gibran Sesunan, mahasiswa yang lahir di Bandar Lampung, 23 Desember 1990. Menghabiskan masa kecilnya di Liwa-Kabupaten Lampung Barat. Kemudian menempuh pendidikan di SDN 2 Rawalaut Bandar Lampung, SMPN 2 Bandar Lampung, dan SMAN 2 Bandar Lampung. Saat ini sedang merantau di Yogyakarta untuk menempuh pendidikan lanjutannya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).

Hobinya: segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola, Liverpudlian, You'll Never Walk Alone! Menyukai musik, dimainkan ataupun hanya mendengarkan, terlebih Greenday, Muse, dan Coldplay, serta musik instrumental Kitaro. Buku menjadi teman setia di kamar, karena kegemarannya membaca buku-buku terkait sejarah, politik, dan hukum. Juga buku-buku yang memotivasi diri untuk menjadi lebih baik. Memiliki koleksi buku cukup banyak, di kamar pribadi ataupun di kamar kost. Senang jalan-jalan, penyuka gunung dan pantai.


Pada 2008, mengemban amanah sebagai Duta Bahasa Provinsi Lampung dan mewakili Provinsi Lampung dalam Duta Bahasa Nasional sekaligus sebagai wakil termuda di acara yang diselenggarakan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional tersebut. Masih di tahun yang sama, meraih predikat Runner-up II Mekhanai Kota Bandar Lampung, kemudian di tingkat provinsi sebagai Runner-up I Mekhanai Provinsi Lampung (red: Muli Mekhanai=Duta Pariwisata, semacam Abang None di DKI, atau Dimas Diajeng di DIY).


Semasa SMA, pernah menjadi pemenang di Battle of Brains 12th ALSA (Asian Law Students Association) National English Competition Universitas Indonesia. Cukup aktif dalam komunitas debat, dengan sedikit torehan: pemenang LIA English Debating Championship 2007, dan pemenang II Debat Politik Anak Sekolah se-Provinsi Lampung 2009. Terpilih sebagai peserta program pengiriman pelajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah Jepang melalui JENESYS (Japan East-Asia Network of Exchange for Students and Youths) Programme, ditempatkan di Prefektur Yamagata.


Aktif berorganisasi. Pernah menjabat sebagai Ketua II OSIS SMPN 2 Bandar Lampung, Wakil Kepala Dept. Kaderisasi Rohis (Rohani Islam) di tempat yang sama. Juga sebagai Kepala Dept. Pendidikan Politik, Berorganisasi, dan Kepemimpinan OSIS SMAN 2 Bandar Lampung.


Juga pernah aktif di dunia musik sebagai gitaris. Tak banyak yang ditoreh, hanya sebagai penyaluran hobi. Prestasi terbaiknya adalah 24 besar band dalam Indomie Jingledare I Region Pulau Sumatera di Palembang-Sumatera Selatan, satu dari lima wakil Lampung dalam ajang itu.


Kini sebagai mahasiswa, bergerak bersama Dewan Mahasiswa Justicia (Badan Eksekutif Mahasiswa) FH UGM sebagai motor perjuangannya. Aktif di Departemen Advokasi sebagai staf semasa Kabinet Progresivitas Langit Biru (Ketua: Ahlul Badrito Resha), diamanahi sebagai Kepala Divisi Internal Kabinet Mentari Peradaban (Ketua: Doni J.A. Saktiawan), dan Kepala Departemen Aksi dan Propaganda Kabinet Jejak Merah Putih (Ketua: Ridwan Affan).

Kini diamanahi untuk memimpin Dewan Mahasiswa Justicia 2012 sebagai Ketua Umum. Juga aktif sebagai asisten peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas di berbagai media cetak dan elektronik. Karyanya dapat dilihat di Lampung Post, Radar Lampung, Radar Jogja, dan okezone.com, juga di situs demajusticia.com.


Masih selalu belajar, kepada siapapun, dan dimanapun. Salam kenal kepada semuanya, kepada alam bumi manusia dengan segala makhluk yang bergumul di atasnya :)

M.M. Gibran Sesunan

Kamis, 09 September 2010

Kelakuan Wakil Rakyat



Kabar tak sedap belum juga beranjak dari kediaman para wakil rakyat yang terhormat. Pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) senilai lebih dari Rp1,6 triliun menjadi sebab. Tentunya uang sebanyak itu berasal kantong rakyat. Makin mencengangkan karena nantinya terdapat fasilitas spa dan kolam renang berkedok fasilitas kebugaran anggota Dewan di situ.


Berbagai pembenaran tak masuk akal juga kian muncul. Seperti dari anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Michael Wattimena, yang menyatakan kolam renang dibuat juga untuk memudahkan tindakan apabila terjadi kebakaran. Michael juga menyatakan gedung parlemen Indonesia kotor dan tidak terawat jika dibandingkan gedung palemen negara lain. Pernyataan konyol yang datang dari ruang wakil rakyat.



Tidak Peka


Pernyataan salah seorang anggota BURT itu memang menjadi ironi. Akan lebih penting dan bermanfaat jika anggota Dewan membandingkan kinerja dengan parlemen negara lain, bukan malah menyandingkan urusan bersih-kotor dan perawatan. Bukan hanya bersih-kotor gedung, tetapi juga “bersih-kotor” pribadi isi gedung menjadi kewajiban anggota Dewan untuk menjaganya.



Kebijakan pembangunan gedung baru ini menunjukkan sikap anggota Dewan yang tidak peka terhadap kondisi bangsa. Peningkatan fasilitas kantor lebih penting daripada urusan genting yang ada. Lihatlah masalah Century yang tenggelam, diplomasi lunak terhadap Malaysia, ledakan elpiji di mana-mana, seolah luput dari perhatian. Wajar seorang Pong Harjatmo kemudian geram dan mencoret-coret gedung parlemen. Tindakan vandalisme memang tidak baik, tapi esensi yang dilakukan Pong sangatlah mengena untuk manusia-manusia berakal dan bernurani.



Akan sangat bermanfaat jika uang sebanyak itu dialihkan untuk peningkatan pendidikan atau kebutuhan publik lainnya. Berapa banyak gedung sekolah yang bisa dibangun atau diperbaiki dengan uang begitu banyak. Dari statistik Kementerian Pendidikan Nasional, tak kurang 160 ribu gedung sekolah yang rusak di seluruh Indonesia butuh segera diperbaiki. Juga untuk program pengentasan kemiskinan, atau mengamankan tabung gas yang semakin sering meledak bersahut-sahutan.



Pembuktian



Rakyat Indonesia butuh pembuktian kinerja DPR sebelum para legislator meminta macam-macam menggunakan uang rakyat. Jika DPR memaksakan diri, sedangkan masyarakat luas menolak dan mengecam, semakin menunjukkan DPR bukanlah lembaga pembawa aspirasi rakyat, melainkan aspirasi partai, lebih parah lagi, ambisi pribadi.



Alasan lain pembangunan gedung adalah untuk meningkatkan kinerja. Tak ada jaminan penambahan fasilitas kemudian berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kerja anggota DPR. Ini menyangkut masalah mental. Lihat saja di Kementerian Keuangan yang menjadi pilot project reformasi birokrasi, remunerasi tak bisa menghalau munculnya orang-orang macam Gayus Tambunan. Apalagi di DPR, tempat yang sudah sering kita dengar dijadikan sarang nyaman bagi penyamun berdasi.



Sudah menjadi rahasia umum betapa banyak para wakil rakyat kemudian terbukti terlibat korupsi. Bahkan terakhir, KPK telah menetapkan 26 politisi dari gedung parlemen, baik periode sekarang atau sebelumnya, sebagai tersangka kasus cek pelawat pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004 silam. Bukankah segala macam tunjangan jabatan dan fasilitas nomor wahid sudah ada pada diri setiap anggota DPR? Lalu apa lagi?



Dengan yang sekarang saja sangat sulit mendatangkan para anggota Dewan untuk ikut rapat-rapat, yang pastinya selalu penting membahas nasib bangsa ke depan, apalagi jika ada fasilitas kebugaran. Akan makin sepi saja sepertinya kelak ruang sidang yang demikian besar itu, ditinggalkan penghuninya ke lantai atas yang merupakan ruang pelesiran.




Lebih baik DPR membuktikan kinerja dan kesuksesannya terlebih dahulu, bukan malah merontokkan citranya yang sudah buruk di mata masyarakat dengan berbagai kebijakan tidak prorakyat. Kemiskinan yang merajalela harusnya cukup bisa menggugah, menggurah, dan menggugat hati nurani siapa pun yang masih waras.



Jangan sampai ulah anggota Dewan semakin menjustifikasi sebuah sarkasme: 65 tahun Indonesia merdeka, tapi yang merdeka hanyalah wakil rakyat, sementara rakyatnya (masih) terus merana. Wakil rakyat makmur, rakyatnya terkubur. Wakil rakyat sebagai penampung aspirasi masyarakat akan dinilai melalui pembangunan gedung ini. Jika keluh-kesah rakyat sudah tak didengar, buat apa ada Dewan Perwakilan Rakyat (yang seperti ini)?


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Artikel ini dimuat di Harian Lampung Post, edisi Senin 6 September 2010
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010090607292755

Demokrasi Liar dalam Pilkada





Banyak daerah di Indonesia akan menghelat pesta akbar demokrasi. Yakni pemilu kepala daerah (pilkada) yang merupakan konsekuensi dari penerapan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UU No. 32/2004.
Ada fenomena menarik yang muncul dalam pilkada pascareformasi; banyaknya artis yang meramaikan bursa calon kepala daerah. Ada yang menang, tidak sedikit juga yang kalah.



Syaiful Jamil dan Marissa Haque adalah contoh artis peserta pilkada yang kalah dalam pemilihan. Sedangkan artis yang berhasil terpilih, seperti Rano Karno. Kemudian yang paling spektakuler adalah Dede Yusuf sebagai wakil gubernur Jawa Barat yang bersama Ahmad Heryawan berhasil menumbangkan calon kuat incumbent dan mantan menteri pesaingnya.



Banyaknya artis ikut pilkada memang tidak ada yang salah. Sebab, itu adalah hak setiap warganegara. Bahkan artis relatif lebih dikenal dan mudah mendekat ke masyarakat. Tapi, fakta sekarang menunjukkan bahwa keikutsertaan artis telah menuju tahap kritis nan liar; banyak artis yang jelas-jelas telah diketahui kekurangbaikan (kalau tidak disebut buruk) integritas moralnya ikut serta bahkan diusung partai tertentu dalam pilkada.



Ada seseorang yang menjadi artis mendadak karena perbuatan mesumnya dengan seorang anggota dewan terekspose ke publik justru berani mencalonkan diri sebagai bupati. Ada pula artis yang selama ini terkenal dengan kekisruhan rumah tangga plus gosip-gosip miring tentang tingkah-polah pribadinya malah dicalonkan beberapa parpol di suatu daerah. Sungguh aneh, tapi nyata terjadi di negeri kita. Hal itulah yang membuat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan perlu dicantumkannya syarat tambahan bagi calon kepala daerah, yaitu berpengalaman di bidang organisasi dan juga harus bermoral.



Syarat berpengalaman di organisasi sangatlah wajar diterapkan karena bagaimanapun kepala daerah harus bisa mengelola daerahnya dengan baik dan paling tidak kemampuannya itu sedikit-banyak dapat diketahui melalui pengalaman berorganisasinya. Tapi, yang menjadi polemik adalah mengenai syarat moral si calon. Tujuan dari persyaratan ini memang baik, seorang kepala daerah harus terjaga integritas dan moralnya karena sebagai pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Tapi, permasalahannya adalah bahwa bermoral itu memiliki dimensi yang luas dan tidak jelas batasan-batasannya sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya kelak.



Hukuman Moral dan Sanksi Tindakan

Semua pihak pasti setuju bahwa pemimpin haruslah terbukti baik moralnya. Tapi, yang menjadi kontroversi adalah perlu tidaknya hal itu dicantumkan dalam peraturan. Bila dilihat dari aspek sosiologis, masalah moral adalah masalah interpretasi pribadi sehingga penilaian bermoral atau tidak sebaiknya tidak perlu dicantumkan dalam peraturan, tapi cukup diserahkan kepada masyarakat. Pencantuman justru dapat melanggar hak seseorang untuk dipilih.



Terlebih lagi pencantuman dalam undang-undang membuat peraturan itu menjadi kaku. Padahal moral manusia itu dinamis, dapat diperbaiki seiring waktu berjalan sehingga pencantuman dalam undang-undang tentu dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi biarlah masyarakat menilai kelakuan dan kepantasan si calon untuk menjadi pemimpinnya.



Masyarakat Indonesia yang terkenal memegang teguh nilai-nilai ketimuran pasti tahu apa yang harus dia lakukan ketika menentukan nasib daerahnya. Kalaupun si calon yang katanya tidak memiliki cukup moral itu terpilih, biarlah waktu yang membuktikan kapasitasnya dan biarlah masyarakat yang memberikan sanksi moral terhadap si calon.



Fenomena di atas juga diperparah dengan adanya parpol yang mengusung calon yang menurut masyarakat banyak dianggap kurang bermoral. Terlihat jelas bahwa parpol tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan kredibilitas calon yang diusungnya, hanya semata mementingkan elektabilitas tanpa pendekatan moralitas. Hal-hal seperti ini dapat menimbulkan kerugian bagi sistem politik di Indonesia. Parpol yang ’’sembarangan” bisa digeneralisasikan oleh masyarakat dan berujung pada keacuhan untuk berpartisipasi dalam pilkada alias menimbulkan golongan putih (golput). Tentunya sangat disayangkan jika milaran rupiah uang rakyat terbuang sia-sia karena ulah oknum parpol yang sembarangan tadi.



Saatnya masyarakat mengambil sikap tegas terhadap parpol-parpol yang seperti itu. Saatnya memutuskan untuk tidak memilih partai yang terbukti hanya mengutamakan elektabilitas tanpa melihat sudut pandang religi dan budaya Indonesia. Dengan kata lain, egois demi kepentingan pemenangan saja tapi melupakan nilai-nilai luhur bangsa kita. Keputusan tegas dari masyarakat sangatlah penting demi terciptanya kondisi politik yang sehat dan bermartabat agar dapat menjadi contoh dan pelajaran bagi partai politik dalam bersikap dan berpolitik santun, serta menjadi sebuah ultimatum bahwa masyarakat mencermati keadaan sekitarnya serta masih memiliki nurani dalam berpolitik



Masyarakat harus terus mencermati dan menilai kondisi sekelilingnya karena bagaimanapun kita semua bertanggung jawab atas kelangsungan negara ini, terutama daerahnya. Harus diingat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab sehingga selayaknyalah dipimpin orang yang beradab pula. Terakhir, selamat berpesta!




M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
 
Artikel ini dimuat di Harian Radar Lampung, edisi Selasa, 27 April 2010
http://radarlampung.co.id/web/opini/14081-demokrasi-liar-dalam-pilkada.html

Gugatan Emosional Sengketa Pilkada



Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan calon yang kalah dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Lampung Selatan, Lampung Timur, Metro, dan Bandarlampung. Dengan demikian, Rycko Menoza, Satono, Lukman Hakim, dan Herman H.N.-lah pemimpin rakyat untuk lima tahun ke depan. Gugatan juga terjadi pada Pilkada Pesawaran. Itu baru dalam lingkup Provinsi Lampung.

Banyaknya gugatan pilkada yang masuk ke MK memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam penerapan otonomi daerah. Ada 244 pilkada di tahun 2010 ini dan data menunjukkan 70 persen lebih pilkada yang telah dilangsungkan ternyata berpolemik dan banyak berujung gugatan.

Banyaknya gugatan yang masuk MK menunjukkan terjadinya permasalahan dalam proses pilkada. Tetapi, itu menandakan ketidaksiapan calon menerima kekalahan. Indikasinya, mayoritas gugatan pilkada yang masuk MK sangatlah lemah dari segi alat bukti. Alat bukti gugatan hanyalah data-data seadanya yang sedemikian rupa dikemas untuk mementahkan keputusan KPUD. Kesannya, gugatan hanyalah ikhtiar coba-coba dari calon yang kalah pilkada, sementara MK dijadikan tempat untuk mencoba peruntungan itu.

Dalam kasus gugatan dalam plikada empat kabupaten/kota di Lampung, MK menyatakan objek gugatan pemohon bahkan tidak tepat sehingga seluruh gugatan tidak dapat diterima. Di Lampung Selatan, yang seharusnya digugat adalah SK KPUD tentang penetapan perolehan suara dan calon terpilih pilkada, bukan berita acara. Secara logika, dari objeknya saja sudah salah, tentu substansinya pun tak tentu arah.

Banyaknya gugatan yang masuk MK membuat Mendagri Gamawan Fauzi pernah melontarkan usulan untuk mengembalikan proses gugatan sengketa pilkada ke pengadilan tinggi. Hal itu didukung Ketua MK Mahfud M.D. Tetapi alasan Mahfud mendukung lebih karena ’’kebosanan” beliau mengurusi sengketa pilkada yang tak ada habisnya, yang menurutnya kebanyakan hanya gugatan sarat emosi, bukan sarat nilai. Tentu mengembalikan proses hukum ke PT bukanlah solusi karena dahulu pengadilan banyak memutus sengketa secara kontroversial. Kita masih trauma akan hal itu. Terlebih, PT berada di zona rawan karena terlalu dekat dengan tempat kejadian. Dengan catatan hitam masa lalu serta potensi konflik horizontal, usulan memindahkan proses gugatan ke PT merupakan kemunduran dalam berdemokrasi.

Akan lebih baik jika semua catatan sengketa pilkada yang masuk ke MK dijadikan bahan evaluasi bagi pihak terkait, baik MK, KPU, calon kepala daerah beserta tim sukses, dan seluruh lapisan masyarakat.

Kemudian arus ada sinkronisasi dan sinergi, terutama antara MK dan KPU. Gugatan yang masuk ke MK harus dievaluasi dan dijadikan ajang introspeksi oleh KPU dan jajarannya. KPU perlu terus memantau materi gugatan, sehingga jika yang digugat adalah masalah teknis, KPU bisa memperbaiki agar tak terus terulang dan meminimalisasi kesalahan yang bisa dijadikan bahan gugatan dalam pilkada oleh calon yang tak puas. Dengan itu, kelemahan dalam penyelenggaraan dapat diperbaiki.

Menggugat ke MK memang mudah, cukup membawa bukti kecurangan dan/atau bukti kesalahan dalam proses pilkada. Tapi yang selama ini terjadi adalah bukti yang diajukan lemah sehingga banyak gugatan yang mentah. Bagi calon yang kalah dan merasa dirugikan dalam proses pilkada, haruslah mempertajam alat buktinya. Misal saja tuduhan politik uang, harus dibuktikan secara gamblang bahwa itu dapat memengaruhi pikiran pemilih untuk memilih si pemberi.

Terlepas dari maraknya gugatan pilkada, yang lebih penting adalah tetap menjaga keharmonisan di daerah. Pemenang harus merangkul yang kalah, dan yang kalah wajib mendukung si pemenang karena bagaimanapun membangun daerah adalah tanggung jawab bersama. Tanpa sinergi semua pihak, kemajuan daerah hanyalah angan-angan. Lepaskanlah baju-baju politik demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Tantangan administrasi publik, menurut Philips J. Cooper (1998), diantaranya diversity (perbedaan) dan demokrasi. Saatnya membuktikan bahwa tantangan itu telah berhasil kita lewati, dan saatnya mewujudkan demokrasi yang sehat sebagai sarana menuju kemaslahatan daerah.


M.M. Gibran Sesunan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
 
Artikel ini dimuat di Harian Radar Lampung edisi Sabtu, 14 Agustus 2010

Asa Anak Bangsa: Idealisme, Visi, dan Nafas Intelektual dalam Gudang Pemikiran (Part 1)

khairunnas anfa'uhum linnas
-sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain- Muhammad saw

Tiada kata tergores, tiada keringat menetes, selain mengharap ridho Allah di garis perjuangan yang telah dipilih.

Guratan asa seorang anak bangsa yang bukan siapa-siapa, hanya manusia yang terus digugat oleh nafasnya sendiri, nafas nurani dan intelektual untuk berkontribusi.. Memberi secercah cahaya di ujung lorong, menjadi nakhoda kapal retak untuk menghantam gelombang, dan meraih penopang untuk langit yang hampir runtuh menelan peradaban..


Asa anak bangsa yang berusaha meneguhkan idealismenya, sebagai bekal di hari depan, sebagai pengingat di kala lupa, dan sebagai cambuk di waktu hampa..

Asa anak bangsa dengan visi tak seberapa, "hanya" berjalan tergerak sembari menanti sampainya hari-hari di suatu gerbang indah, yang tak tahulah lagi berapa senti, atau kilo jaraknya..

Asa anak bangsa yang ditampar nurani dan intelektualnya, untuk ikut meneteskan keringat, demi perubahan dan progresivitas peradaban!

Di sebuah gudang pemikiran, menumpuk asa dan pengharapan, menggagas ide demi kemaslahatan. Usaha menajamkan intelektual sebagai sarana menuju keabadian.. Kemudian digerakkan dan menggerakkan, agar tidak terlupa dan dilupakan..

jangan halau, dan jangan coba menghalau! karena engkau akan terempas badai besar di mana aku ikut di dalamnya..
jangan halau, dan jangan harap bisa menghalau! karena engkau akan terlindas-tergiling peradaban..

setiap zaman punya anak emasnya sendiri..  anak emas ditempa oleh kerasnya zaman, karena yang mudah di tengah zaman hanyalah tidur atau mati..

Lebih membosankan adalah mengamati yang tidak membutuhkan suatu jalan, menjangkarkan akar tunggang pada bumi, dan tumbuh pada pohon
-Pramoedya Ananta Toer-
jangan hanya diam, karena yang hanya diam adalah si sekarat dan si mati
jangan lari, karena yang lari hanyalah kriminal

Tak butuh banyak orang untuk mengubah dunia. Bahkan Presiden Soekarno hanya butuh sepuluh pemuda untuk mengguncangnya! Mari bergerak! Progresivitas peradaban menanti kita, kawan!


Salam terhangat dari hati terdalam,



M.M. Gibran Sesunan